Waktu menjelang siang. Sinar mentari lumayan panas terasa di badan, setelah seharian kemarin turun hujan cukup deras.
‘Payung…!! Payung..!! Sandal… sepatu…’ teriak seorang pria lewat depan rumah. Berkali-kali pria itu teriak sambil membawa tas jinjing berisi peralatan dan perlengkapan utk memperbaiki payung, sandal dan sepatu.
Tiba2 kami teringat ada 2 payung rusak di belakang rumah. “Pak…payung” teriak saya ketika bapak itu telah melewati puluhan meter ke arah barat depan rumah. Saya teriak sambil tepuk tangani, eh belum dengar juga. Alhamdulillah ada tetangga depan mushola yang mendengar suara kami, dan membantu _’njawil’_ bapak itu. Belakangan kami baru tahu kalo bapak itu _nyuwun sewu: radi sudo rungu’_ (mohon maaf: pendengaran- nya agak kurang baik). Bisa jadi karena usia atau sebab lainnya.
Kamipun segera ambil payung yang rusak dan kami serahkan ke bapak itu. Kami perhatikan bagaimana dia dengan cekatan dan trampil memperbaiki payung. 15-20an menit kedua payung selesai diperbaiki.
Kebetulan ada seorang kawan datang dan kami ngobrol di teras rumah. Setelah service selesai kami sodorkan minuman dan kudapan yang ada di depan kami.
_’Mboten usah repot pak, kulo pun maturnuwun diparingi pedamelan (tidak usah repot-repot pak, saya sudah terimakasih diberi pekerjaan)’_ ucapnya dengan nada nyaring dan jelas.
_”Mboten napa2, kala2 pak, niki ngepasi wonten (tidak mengapa pak, ini pas ada)”_, pinta kami.
Diapun akhirnya berkenan mengambil minuman dan sebuah kue.
“Panjenengan paringi asma sinten lan griyane pundi (bapak namanya siapa dan tempat tinggalnya dimana)?” tanya kami.
_’Kula Ahmad Nasokha saking Sukorejo (Saya Ahmad Nasokha dari Sukorejo)’_ jawabnya.
Sambil bincang santai, pak Nasokha bercerita tentang diri, keluarga dan kegiatan sehari- hari. Dari penuturan tulus apa adanya kami menjadi sedikit tahu profil beliau.
Pak Nasokha, begitu panggilan akrabnya, umurnya 65 tahun, anak 3 dan cucunya 4.
Anak pertama menjadi Guru PNS SMA Negeri dan tinggal di Semarang. Anak kedua kerja pada PT Perusahaan Farmasi di Semarang. Anak ketiga bertani sambil _’nyambi’_ menjadi sopir bus pariwisata dan nge-Grab mobil miliknya. Semua anaknya kuliah, walau sampai sarjana muda.
Pekerjaan harian pak Nasokha bertani dan beternak di rumah. Setiap pagi menjelang dhuha, beliau berangkat _’nyawah’_ dan berkebun di sawah dan _’tegalan’_ (tanah gogo/ladang) di 5 tempat yang beliau miliki. Hasil menabung serta kerja keras sejak usia muda dan awal berkeluarga.
Sekitar jam 10.00-an beliau pulang ke rumah, sambil membawa rumput utk pakan sapinya 2 ekor. Setelah mandi dan sarapan beliau berangkat ke Weleri, naik bus umum, 30 menit sampai di depan Pasar Weleri.
Bismillah…pak Nasokha berjalan kaki keliling dari kampung ke kampung di sekitar kota Weleri untuk menawarkan jasa reparasi/service payung dan menjahit sandal/sepatu bagi orang yang membutuhkan jasanya. Aktifitas ini sudah dilakukan selama 15 tahun. Utamanya dikala musim penghujan tiba.
Bakda ashar, agak sore dan sudah tidak terasa panas (jam 16.00-16.30), _dengan pendapatan seberapa dan atau tanpa hasil sepeserpun_, beliau pulang ke Sukorejo, naik bus umum yang biasa mangkal di barat Puskesmas Weleri 1. Menjelang maghrib biasanya sudah sampai rumah, agar dapat shalat maghrib berjamaah di mushola dekat rumah. Atau kalo terpaksa waktunya tidak keburu, beliau biasa maghriban di masjid atau mushola yang dilewati. Maklum beliau kemana-mana jalan kaki, sedangkan jarak rumah dengan terminal Sukorejo masih 3 kilometer.
_’Namine nggih adhang-adhang pak, mboten mesti angsalipun pinten. Menungsa rak mung sagede ihtiar sak-kuate (namanya juga berusaha, dapatnya berapa tidak mesti. Manusia hanya bisa berihtiar sekuat tenaga)’_ jawab beliau ketika teman saya ikut bertanya: “pinten hasile sedinten pak? (berapa pendapatan sehari pak?)”.
_’Pun cekap kulo tak nerusake golek rejekine Gusti Allah (sudah selesai tugas saya, ijin mau melanjutkan usaha mencari rejeki dari Allah Swt)’_ pamitnya.
“Lajeng pinten biayane ndandosi payung kalih wau pak (Terus berapa biaya perbaikan 2 payung ini)” tanya kami.
_’Sedoso ewu mawon (Rp 10 ribu saja)’_ pintanya.
Kami berikan 20-ribu rupiah sebagai ongkos service 2 payung.
_’niki kekathahen pak, mboten wonten susuke. Nembe bukak dhasar..(ini kebanyakan, tidak ada kembalian-nya. Ini pertama kali saya dapat order hari ini)’_ ucapnya seraya minta pembayaran uang pas.
“Pun diasta mawon, mugi dados sedekahe kulo lan panjenengan (Sudah diambil saja semoga menjadi sedekah kita)” tutur kami.
_’Alhamdulillah mugi barokah kagem bapak sak keluwarga. Lan mugi saged tambah rejekine ingkang kathah. Amien.. (semoga menjadi keberkahan bagi bapak sekeluarga dan semoga ditambah rejeki yang semakin banyak)’_ doanya sambil mengusap tangan ke muka.
“Semanten ugi, mugi pak Nasokha saged enggal-2 haji, ziarah dhateng Mekkah lan Medinah. Amien. (begitu juga, semoga pak Nasokha segera bisa melaksanakan ibadah haji, ziarah ke Mekkah dan Medinah)” balas doa kami untuk beliau.
Sungguh pelajaran hidup, _ngaji kehidupan_ yang luar biasa hari ini. Semangat menjemput rejeki illahi Rabbii telah Allah tunjukkan lewat _’malaikat’_ yakni pak Nasokha. Sosok yang penuh semangat, _’ora gelem liren (tidak mau istirahat berlama-lama dan bermalas- malasan)’_ dalam berusaha dan berihtiar menjemput rejeki-Nya. Semoga beliau disegerakan mendapat hidayah untuk melaksanakan haji di sisa umurnya. Beliau menyatakan sudah membayar dan mendaftar haji 2 tahun yang lalu.
_*La ilaha illa Anta.. Subhanaka…innii kuntu mina- dhalimiin.*_
*Rabbii hablii mina- shalihiin.*
Wallahua’lam
_Weleri, 21 Januari 2020._