Suatu ketika di pertengahan era 80-an, kami alumni SD Muhammadiyah Weleri 1981 mengadakan reuni di rumah alm. H. Noer Syiraj ayahanda Muniroh dan Fitroh, kakak kelas dan teman sekelas angkatan kami.
Awalnya kami sekolah di MIM Kedonsari-Penyangkringan era MWB : Madrasah Wajib Belajar. MIM Weleri terkenal dengan sebutan “MI Klentheng”, karena lokasinya berhadapan dengan Klenteng, tempat ibadah umat Konghucu. Ketika kami kelas 3 MI, jumlah siswa dibagi 2 seiring pendirian SD Muhammadiyah Weleri. Sehingga saat lulus kami berijazah SDM Weleri dan memiliki 2 raport MI (kelas 1-3) dan SD (kelas 4-6).
Umat yang beribadat di Klenteng Tri Dharma sebagian besar warga Tionghoa yang tinggal di Weleri. Sebagiannya masih menjadi WNA hingga meninggal dunia. Meski sekarang semua anak keturunannya sudah menjadi WNI dan menjadi dinamisator perekonomian kabupaten Kendal, bahkan berkembang hingga Batang dan Kota Semarang.
Perubahan lain warga Tionghoa Weleri yaitu berpindahnya warga beragama Konghucu ke Katolik dan Kristen Protestan. Sehingga sekarang Klenteng Tri Dharma sepi dari ritual peribadatan agama Konghucu. Aroma dupa yongsua sudah tidak lagi menyengat seperti saat kami kecil dulu. Sekarang MIM Penyangkringan sudah berubah menjadi TK ABA Ar-Rahmah dan dibangun mushola “klenteng” lantai 2.
Waktu kecil kami sering beli kue bolang-baling yang dibuat oleh pasangan suami-istri penjaga Klenteng. Perubahan dalam bidang ekonomi juga terjadi. Dahulu kebanyakan berbisnis di sektor pangan, kebutuhan pokok dan sandang. Toko Anyar di Pasar Weleri, Rice-mill, Pabrik Kopi dan Cengkeh, Pabrik Es, serta puluhan rumah makan untuk melayani penumpang bus AKAP di Gringsing- Batang adalah sebagian contoh unit usaha warga Tionghoa Weleri.
Baca Juga : Optimalisasi Penerapan Literasi Digital pada Pendidikan Anak Usia Dini
Saya pun masih ingat dahulu ada 2 pedagang “putihan” (pakaian/garmen) di dalam Pasar Weleri, yaitu koh Welly dan Cik Moy. Kebetulan los yang ditempati berhadapan dengan los milik bapak-ibu kami. Sekarang sudah tidak ada lagi warga Tionghoa yang berjualan sandang di Pasar Weleri. Digantikan oleh para pedagang dari Padang.
Di masa kini warga Tionghoa Weleri banyak bergeser ke sektor keuangan dan properti (papan) disamping masih menguasai perdagangan emas. BPR Gunung Rizki, Kospin Sekartama, Kospin Surya Artha, BPR Limpung Artha dan puluhan Kospin lain di kabupaten Kendal dan Batang memiliki relasi kepemilikan dengan warga keturunan di Weleri. Angka agregat outstanding kreditnya sudah berada di angka Trilyunan Rupiah per bulan.
Noer Syiraj merupakan salah satu pengusaha sukses warga Muhammadiyah Weleri yang kala itu memiliki Perusahaan Ubin Elektrik Gunung Mas, Radio Bahurekso Sakti (BOS) dan Gudang Tembakau (PR Sukun). Ke-6 putra-putrinya sekolah di SD Muhammadiyah Weleri.
Dalam sambutannya saat itu, beliau menyampaikan pesan makna pentingnya anak-anak lulusan SDM Weleri untuk memiliki jiwa wirausaha/ dagang yang mandiri seperti warga Tionghoa. Tausiyah yang sesekali diselingi dengan ungkapan dalam bahasa Mandarin yang masih saya ingat, diantaranya :
“Apa bahasa China-nya seratus dan sejuta?”.
“Apa bahasa China-nya untung dan rugi?”
Yang kemudian dijawab sendiri oleh beliau karena tidak ada satupun dari kami yang bisa menjawab saat itu.
-https://joglosemarnews.com/2023/03/sekilas-tentang-muhammadiyah-weleri/