Khafid.id | Khafid Sirotudin – Rabu, 23 Agustus 2023, saya diminta menjadi moderator Seminar Menggagas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kedaulatan Pangan di Novotel Solo, yang diselenggarakan oleh DPRD Provinsi Jawa Tengah. Seminar ini sekaligus menjadi uji publik atas proses legal drafting Raperda yang sedang dilakukan. Ada tiga nara sumber yang dihadirkan, yaitu Dra. Hj. Sri Marnyuni, MM. selaku Wakil Ketua Komisi B yang berinisiatif mengajukan Raperda; Prof. Dr. Bambang WHEP, M.Agr.Sc, IPU. Dekan fakultas Peternakan dan Pertanian Undip Semarang; dan Ir. Dyah Lukisari, M.Si. Kepala Dinas Ketahanan Pangan provinsi Jawa Tengah. Seminar diikuti 100-an orang dari berbagai pemangku kepentingan terkait pangan.
Bagi kami Raperda Kedaulatan Pangan ini sangat strategis dan menarik. Strategis disaat banyak pihak dan negara sedang memperdebatkan soal food estate, perubahan iklim, pemanasan global, terganggunya rantai pasokan pangan akibat perang Rusia-Ukraina dan masih adanya tengkes (stunting) akibat kurangnya asupan pangan bergizi bagi balita dan anak-anak. Raperda ini menarik karena berasal dari inisiatif komisi B DPRD Jateng dan menggunakan diksi Kedaulatan Pangan (Food Sovereignty). Bukan Ketahanan Pangan (Food Security) atau Kemandirian Pangan (Food Resilience).
Dalam perspektif ilmu pangan dan “tasawuf pangan“, Kedaulatan Pangan itu wilayah makrifat. Suatu kondisi paling ideal bagi suatu negara dan bangsa dalam menyediakan beragam kebutuhan pangan bagi seluruh rakyatnya secara mandiri, berdaulat dan berlebih. Bahkan dalam kondisi perang, bencana alam atau gagal panen massif disebabkan cuaca ekstrim sekalipun. Sebab cadangan pangan negara sudah tercukupi dan terjaga untuk paling tidak selama 2 tahun.
Kemandirian pangan adalah “hakekat” suatu kondisi dimana suatu daerah/wilayah mampu memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam kawasannya sendiri, yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan sampai tingkat perseorangan dengan memanfaatkan sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat. Kemandirian pangan bisa merujuk pada wilayah desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan negara.
Ketahanan pangan merupakan “syariat” kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau. Soal ketersediaan pangan masih mengandalkan impor atau mendatangkan dari luar negeri/wilayah tidaklah dipermasalahkan. Yang penting tersedia pangan bagi rakyatnya.
Landasan Normatif
Rasanya sudah cukup UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat”. Maknanya pangan bukan hanya berasal dari hasil pertanian sawah dan ladang, perkebunan dan kehutanan. Namun juga dihasilkan dari perikanan tangkap di laut, danau dan sungai, beragam peternakan unggas, ruminansia (Jawa : Rojokoyo) dan ikan konsumsi.
Undang-Undang nomor 18/2012 tentang Pangan, pasal 12 menyebutkan :
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas Ketersediaan Pangan
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas Ketersediaan Pangan di daerah dan pengembangan produksi Pangan Lokal di daerah.
Menurut UU nomor 26 tahun 2007 pasal 1 menyebutkan “Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya”.
Telah cukup memadai UU yang masih berlaku serta terkait secara langsung dengan betapa strategisnya Kedaulatan Pangan sebagai faktor utama dalam menjaga Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa UU itu diantaranya : UU nomor 27/2007 tentang Penataan Ruang; UU nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; UU nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan; UU nomor 39/2014 tentang Perkebunan; UU nomor 31/2004 tentang Perikanan; UU nomor 32/2014 tentang Kelautan. Banyaknya UU tersebut rasanya sudah lebih dari cukup sebagai landasan konsideran terbentuknya Raperda Kedaulatan Pangan Jawa Tengah.
Tantangan dan Peluang
Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 278,7 juta jiwa (BPS, pertengahan 2023) dan berdasarkan Data dari Dirjen Dukcapil Kemendagri penduduk Jawa Tengah berjumlah 37,49 juta jiwa pada Juni 2022. Jika setiap warga membutuhkan bahan pangan beras 100 gram sehari, maka penduduk Jateng membutuhkan 1.368.385 ton beras setiap tahun.
Untungnya Jawa Tengah masih memiliki potensi lahan sawah untuk produksi beras per tahun (2019) seluas 1.049.661 hektar (Kementrian ATR/BPN 2018-2019). Areal sawah seluas itu kami yakin semakin berkurang pada tahun 2023-2024 akibat konversi besar-besaran lahan sawah menjadi prasarana pembangunan jalan tol trans Jawa, pengembangan kawasan industri dan perumahan, serta berbagai kepentingan sektor non pertanian dan perikanan budidaya (tambak) atas nama pembangunan.
Jawa Tengah memiliki ekspor komoditas pertanian tertinggi tahun 2019-2020 sehingga mendapat penghargaan Bakti Tani tahun 2021. Untuk kategori Provinsi dengan Nilai Ekspor Komoditas Tertinggi tahun 2021 (Rp 8,3 Triliun), mengalahkan Kaltim, Jambi, Kalbar dan Sulawesi Utara. Masihkan Jawa Tengah mampu bertahan untuk masa yang akan datang ?
Kedaulatan pangan ternyata bersimpul erat dengan kondisi kemiskinan suatu wilayah. Kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat dapat mempengaruhi akses terhadap pangan. Jika sebagian masyarakat tidak mampu membeli atau mengakses pangan yang aman, cukup, bergizi dan terjangkau, maka hal ini menjadi “pertanda” bahwa kedaulatan pangan sebuah wilayah (negara/provinsi/kabupaten/kota) belum sepenuhnya tercapai.
Setidaknya terdapat beberapa rumusan masalah yang harus diselesaikan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Yaitu faktor produksi pangan, pengolahan bahan pangan (teknologi), distribusi pangan (supply-chain), konsumen dan kelembagaan. Kelima rumusan masalah ini yang melandasi perlunya dihadirkan Perda Kedaulatan Pangan di Jawa Tengah. Agar dapat menjadi landasan normatif bagi para pemangku kepentingan di Jateng : Pemerintah Provinsi/Pemkab/Pemkot/Pemdes, Produsen pangan (Petani, Peternak, Petambak, dll), Konsumen Pangan (rakyat), Industri Makanan dan Minuman, serta stakeholders lainnya.
Kedaulatan pangan juga bertalian erat dengan pola dan budaya makan masyarakat. Alangkah baiknya sebagai warga Jateng kita mulai melakukan diversifikasi pangan dalam keluarga. Sarapan pagi tidak harus nasi atau roti terigu. Mulai diganti dengan sukun, singkong, ketela, pisang atau jagung rebus. Selain itu meminimalisir “food loss” dan menghilangkan “food waste” dijadikan Gaya Hidup Berkeadaban.
Jika kita menyisakan sesuap nasi setiap kali makan, berapa ribu ton beras terbuang mubazir dari budaya makan warga Jateng yang kurang baik selama setahun. Bukankah memubazirkan sebutir makanan termasuk perbuatan setan yang jauh dari rahmat dan berkah Tuhan yang Maha Pemberi Rejeki.
Wallahua’lam
Solo : 25 Agustus 2023
*) Pemerhati Pangan, Praktisi Agribisnis.