Khafid Sirotudin, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Tengah, mengatakan dinamika politik di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam menyongsong pilkada serentak merupakan hal yang wajar dan normal. Sehingga tidak perlu disikapi yang berlebihan baik oleh aparat pemerintah dan keamanan.
Di Jawa Tengah saat ini ada 21 kabupaten/kota yang juga akan menggelar pilkada serentak pada akhir tahun itu. Berbagai tahapan sudah berjalan hingga sekarang. Dinamika politik pun mulai menghangat di kabupaten/kota yang menggelar Pilkada.
“Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban demokrasi. Punya hak untuk mengajukan diri sebagai Calon Bupati/Walikota atau Cawabup/Cawakot. Punya hak untuk memilih dan dipilih. Namun di sisi lain juga memiliki kewajiban demokrasi. Yakni menghormati orang lain, mengikuti proses demokrasi berdasarkan ketentuan peraturan yang ada, dan memperhatikan etika politik yang adiluhung,” ujarnya, Selasa (18/8/2020).
Dinamika politik di Kota Solo berlangsung karena dipengaruhi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang ikut menyalonkan diri dan sudah mendapatkan rekomendasi dari mayoritas parpol yg ada.
“Bahkan bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai oligarkhi politik dan meniscayakan kompetisi demokrasi,” katanya.
Menyinggung kemungkinan adanya pasangan calon (paslon) tunggal dalam pilkada, Khafid memprediksi ada 7 kabupaten/kota yang berpotensi berlangsung paslon tunggal.
“Melihat konstelasi politik yang ada, kemungkinan terjadi pasangan calon tunggal di Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Kebumen,” paparnya.
Menurut Khafid, adanya paslon tunggal dalam Pilkada merupakan realitas demokrasi di Indonesia. “Bukankah dalam Pilkades di desa-desa di kabupaten se-Jateng hal tersebut biasa terjadi,” ujarnya setengah bertanya.
Jika benar 7 kabupaten/kota se-Jateng nantinya terjadi paslon tunggal (33% dari 21 kabupaten/kota), maka setidaknya ada beberapa catatan kritis terkait pelaksanaan pilkada langsung sejak tahun 2005.
“Pertama, pelaksanaan demokrasi substansif semakin jauh dan lebih dekat menjalankan demokrasi prosedural. Kedua, kurang berhasilnya parpol melakukan fungsi kaderisasi politik. Banyak Ketua Parpol dan anggota DPRD yang tidak berani menyalonkan diri sebagai balon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Ketiga, penyelenggaraan pilkada langsung yang membutuhkan cost politics (biaya politik) yang semakin mahal dari kontestan,” terangnya.
Terkait dengan partisipasi publik dalam pilkada serentak di Jateng, Khafid menghimbau agar masyarakat, khususnya warga dan simpatisan Muhammadiyah menggunakan hak pilihnya secara berkeadaban. “Datanglah ke TPS-TPS pada 9 Desember nanti. Gunakan hak pilih saudara meskipun dengan mencoblos “bumbung kosong” (kotak kosong). Sebab memilih bumbung kosong juga cara yang sah untuk menunaikan hak demokrasi dan dijamin UU,” ungkapnya menutup perbincangan. (*)