SETELAH beres-beres urusan rumah, pagi ini kami sengaja jalan-jalan keliling Weleri. Sekalian mencoba motor Yamaha Alfa buatan 1982 yang baru selesai masuk bengkel sebulan lebih. Aset motor 2 Tak (BBMnya harus dicampur oli), dan satu-satunya ranmor ‘klangenan’ yang masih kami openi (pelihara) dan pakai hingga kini.
Kami sengaja menuju ke arah Sukorejo yang kondisi jalannya menanjak cukup tajam. Hitung-itung mencoba motor yang baru selesai bongkar mesin. Di daerah Besokor, dekat tempat ziarah umat Katolik Goa Maria Suci, kami mampir di rumahnya Yusuf Efendi. Teman kecil (TK ABA dan MI/SD Muhammadiyah Weleri) pemilik wahana out bound Talang Gantung Adventure untuk anak-anak sekolah.
Alhamdulillah Yusuf pas ada di rumah. Memang kami tidak janjian lebih dahulu.
Sudah 15 tahun beliau hijrah domisili dari kampung Kedonsari desa Penyangkringan ke desa Sidomukti. Desa paling selatan kecamatan Weleri, berbatasan dengan desa Pagergunung kecamatan Pageruyung. Weleri dan Pageruyung masih satu wilayah Kabupaten Kendal.
Kami bersyukur lahir dan tinggal sejak kecil di Weleri. Hanya saat kuliah selama 7 tahun sempat kami kos di Semarang. Itupun hampir setiap setengah bulan sekali pasti pulang Weleri. ‘Sekali pernah merasakan air dan makan nasi Weleri, suatu ketika pasti mereka akan kembali’, begitu ‘pamali’ (keyakinan) yang sering kami dengar dari orang-orang tua penduduk pribumi Weleri.
Kota Weleri (dulu Kawedanan) adalah daerah urban. Memiliki potensi sumberdaya alam dan ekonomi yang paling maju di Kabupaten Kendal. Sebelum dimekarkan menjadi 2 (Weleri dan Rowosari), kecamatan Weleri memiliki lahan sawah terluas sebagai penghasil padi Kabupaten Kendal. Di sebelah utara wilayah pantai (sekarang masuk kec. Rowosari) berbatasan dengan Laut Jawa. Jika kita ingin menikmati udara segar pegunungan ada di wilayah selatan. Kami biasa jalan- jalan pagi di tengah pematang sawah melewati jalan usaha tani, hanya 25 meter di belakang rumah.
Weleri memiliki infrastruktur dan fasilitas sosial ekonomi paling lengkap. Ada stasiun KA, terminal bus, 3 pasar tradisional terbesar, bendungan, embung, belasan Bank Umum dan BPR, Kospin/KJKS, 3 Rumah Sakit Swasta, 3 Puskesmas, Klinik Pratama dan Praktek Dokter Bersama, 2 Panti Asuhan milik Muhammadiyah dan 1 Panti Sosial Pamardi Siwi milik Pemprov Jateng.
Weleri adalah wilayah paling barat Kabupaten Kendal, berbatasan dengan kabupaten Batang yang dipisahkan sungai Kalikuto. Kabupaten Kendal dan Batang memiliki potensi SDA yang lengkap, yaitu wilayah pantai-laut- tambak, dataran rendah-persawahan, serta pegunungan- perkebunan-kawasan hutan. Tidak semua kabupaten/kota di Jawa Tengah memiliki ketiganya.
Sejak lima tahun terakhir, beberapa kali terjadi bencana tanah longsor di wilayah selatan- barat Kabupaten Kendal. Khususnya di kecamatan Pageruyung dan Sukorejo. Terutama di kanan kiri bahu Jalan Provinsi yang menghubungkan Weleri menuju Sukorejo sampai Candiroto kabupaten Temanggung. Di beberapa ruas jalan sempat pula terjadi ambles. Bahkan pada 3 tahun terakhir disaat musim penghujan tiba, telah terjadi banjir di dukuh Pakis desa Sidomukti. Sempat menimpa kompleks PAY Muhammadiyah Putri dan kampung sekitarnya. Padahal secara geografis, posisi desa Sidomukti berada jauh lebih tinggi dibandingkan kota Weleri.
Kami tidak mengetahui secara persis adakah korelasi terjadinya tanah longsor, jalan ambles dan banjir dengan aktivitas pertambangan di wilayah Pageruyung. Yang jelas kegiatan penambangan galian C di Weleri Selatan dan Pageruyung meningkat pesat sejak dimulainya pembangunan jalan tol Trans Jawa, khususnya ruas Batang-Semarang.
Pembangunan jalan tol sudah selesai dan diresmikan Presiden pada akhir Desember 2018 lalu. Akan tetapi aktivitas penambangan galian C masih banyak yang beroperasi hingga kini. Entah penambangan yang resmi sebagaimana terpampang pada papan informasi dari Dinas ESDM Provinsi Jateng di lokasi penambangan, atau “setengah resmi” karena pengelola lupa atau lalai menampilkan papan perijinan dari instansi berwenang.
Sebagian lokasi sudah terlihat berhenti dan meninggalkan pemandangan bekas penambangan yang memprihatinkan. Kita bisa melihat dengan kasat mata jika melewati Jalan Provinsi dari Weleri menuju Sukorejo. Atau melewati ruas Jalan Kabupaten dari desa Sidomukti menuju Sokokarang, Pagergunung, Surokonto Wetan, Surokonto Kulon, Kebon Gembong, perkebunan karet dan pala PTPN IX sampai pertigaan di depan kantor kecamatan Pageruyung.
Desa Kebon Gembong adalah salah satu desa penghasil durian endemik yang lezat. Warga lokal sering menyebutnya durian Kumbokarno yang berukuran besar, dagingnya tebal dan rasanya manis. Ada juga durian Ketan yang ukurannya tidak begitu besar, kulitnya hijau dan rasanya manis-pahit dengan tekstur buah agak lengket seperti ketan. Dulu kami dan teman- teman Weleri seringkali berburu durian lokal Kendal ketika musim panen tiba. Biasanya akhir bulan Oktober hingga Awal Januari. Membeli dan makan durian di teras rumah penduduk sungguh suatu agro wisata yang tiada tara.
Pada tahun 2013, kami bersama teman-teman Aseibssindo pernah membagikan gratis 2.000 bibit durian varietas Matahari, 3.000 bibit alpukat dan pupuk organik 10 ton untuk masyarakat petani Pageruyung, Sukorejo dan Patean. Tujuan kami untuk menggantikan tanaman durian lokal yang buahnya kurang bagus serta memberi alternatif penghasilan dengan tanaman alpukat.
Menurut Tukiman, teman kami warga Pageruyung yang kami pasrahi untuk membagikan dan memantau perkembangan tanaman, beberapa ratus tanaman durian sudah mulai berbuah pada tahun 2018 lalu. Entah masih ada berapa ratus pohon durian yang mampu bertahan hidup dan berkembang hingga sekarang. Salah satu kelemahan petani hortikultura di Kendal yaitu kurang fokus dalam mengembangkan satu jenis tanaman. One Village One Product One Variety. Kebanyakan pohon durian ditanam di kebun berbaur dengan berbagai jenis tanaman buah lain atau durian varietas lain dalam satu lokasi yang sama. Padahal tata kelola perawatan masing-masing jenis tanaman buah pasti berbeda. Sehingga hasil produksinya kurang maksimal.
opak Singkong dan Rengginan
Disaat kami asik ngobrol dengan Yusuf di teras rumahnya, datang seorang tua sambil memikul keranjang. “Assalamualaikum” sapanya.
“Wa alaikum salam wa rahmatullah. Monggo pak katuran pinarak (Silakan duduk)” jawab kami.
Belakangan kami tahu setelah beliau memperkenalkan diri. Namanya Maat (67 tahun) asal dari desa Pucakwangi kec. Pageruyung. “Nggowo opo pak (membawa dagangan apa)” tanya Yusuf sambil meminta anaknya untuk membuatkan teh.
“opak, rengginan kalih kerupuk” jawabnya lalu duduk di kursi. Kamipun bertiga ngobrol ‘ngalor-ngidul’ (bahan pembicaraan tanpa tema) sambil menikmati segelas teh hangat dan rokok kretek.
Dari pembicaraan itu kami mendapat sedikit informasi keluarga pak Maat. “Putrane kulo 3, putune 6, niki nembe badhe gadhah buyut (anak saya 3, cucunya 6 dan sekarang menanti kelahiran seorang buyut)” cerita dia tanpa kami tanya.
opak, rengginan dan kerupuk berbahan baku pangan lokal merupakan salah satu produk UMKM Pageruyung. opak dan kerupuk berbahan baku singkong atau tepung “mbulung” (pohon Aren), dan rengginan berasal dari ketan putih/hitam.
“Sampeyan saben dinten sadeyan ngubengi pundi mawon (Anda tiap hari keliling mana saja),” tanya kami. “Mboten saben dinten kulo dodolan. Nunggu sakwontene dagangan (tidak setiap hari saya jualan. Menunggu tersedianya barang dagangan)” jawab pak Maat sambil melepaskan asap rokok. “Menawi Jumat kulo prei. Kulo sadeyane mubeng- mubeng dugi pasar Kliwonan Weleri, desa Karangdowo, desa Nawangsari dan Manggungsari (Hari Jumat saya libur. Saya jualannya keliling sampai Pasar Hewan Weleri, desa Karangdowo, Nawangsari dan Manggungsari)” jelasnya kepada kami.
“Menawi mboten sadeyan, kulo kalih tiyang wedok mburuh tanem utawi ngasak guris pari sakbare panen (Kalo tidak jualan, saya dan istri menjadi buruh tani atau mencari sisa padi di sawah setelah dipanen),” terangnya. “Menawi sadeyan ngaten angsal pinten pak (jika jualan dapat keuntungan berapa)” tanya kami.
“Alhamdulillah lumayan kathah mas, suwidak ewu saged nyepeng (Alhamdulillah cukup banyak, Rp 60 ribu bisa saya peroleh)” jawabnya dengan mimik muka penuh rasa syukur.
Pak Maat tidak setiap jualan keliling selalu menyambangi kampung Besokor. Jika hari ini disini, maka di kesempatan berikutnya dia keliling ke desa lain. Setidaknya 3-4 pekan sekali baru keliling di tempat yang sama. Beruntungnya semua barang dagangan bersifat konsinyasi dari tetangganya di desa Pucakwangi.
“Sakniki radi sepen awit lisah regine munggah mboten karuan (sekarang agak sepi sejak minyak goreng harganya naik tidak karuan),” ungkapnya. “Pinten regine teng mriko (Berapa harga disana),” tanya kami. “Sangang ewu setengah liter (Rp 9 ribu setengah liter minyak goreng curah)” jawabnya.
Setengah gelas teh hangat sudah diminum pak Maat. “Pak nuwunsewu sedanten dagangan njenengan nyuwun tulung diparingke mejo mriki, kulo badhe ngertos kados menopo (Pak tolong semua dagangan diletakkan di atas meja sini, saya mau mengetahui barang dagangan yang dijual)” pinta kami.
“Mboten menopo menawi diselehke mejo mriki (Tidak bermasalahkah apabila diletakkan diatas meja ini)” tanya pak Maat sedikit ragu. “Ra masalah kabeh didelehke ndhuwur mejo kene (Tidak apa-apa semua diletakkan diatas meja ini)” sahut Yusuf.
Satu per satu dagangan dikeluarkan dari keranjang dan ditata di atas meja. Ada opak singkong 11 ikat, rengginan ketan hitam/putih 13 plastik dan kerupuk/emping ketela 13 bungkus. 2 bungkus rengginan, 3 ikat opak dan 2 plastik kerupuk sudah terjual sebelum pak Maat ketemu kami. “Pun sakniki mang etung sedanten regine pinten (sudah sekarang dihitung semua harganya berapa)” pinta kami.
Pak Maat biasa menjual opak Rp 10 ribu 3 ikat, rengginan Rp 10.000 sebungkus dan kerupuk mentah Rp 5.000 sebungkus. “Sedanten Rp 225.000” kata pak Maat setelah menghitung satu per satu.
“Nggihpun sakniki dibungkus tas kresek, niki artone Rp 250.000 (ya sudah sekarang dibungkus pakai tas plastik, ini uangnya Rp 250 ribu)” pinta kami sambil menyerahkan uang 5 lembar uang kertas Rp50 ribu.
“Maturnuwun pun diborong, wangsule selangkung ewu nggih mas (terimakasih sudah diborong, kembalian nya Rp 25 ribu)” tuturnya dengan wajah sumringah (berseri).
“Mboten usah susuk, pun sah sedanten (tidak usah ada uang pengembalian, sudah sah semua)” jawab kami.
“Alhamdulillah ya Allah Gusti. Mugi panjenengan angsal gantose sik luwih kathah (Alhamdulillah ya Allah. Semoga anda berdua mendapatkan ganti yang lebih banyak” ucapnya lirih seraya mendoakan kami berdua. “Amin” jawab saya dan Yusuf.
Sebelum pamit pulang, pak Maat bilang “Menawi lewat Pucakwangi mampir mas, kulo sak kampung kalih pak manten (Jika lewat Pucakwangi silakan mampir mas, saya sekampung dengan pak mantan Kades),” pintanya. “Insya Allah pak, titip salam kagem pak manten” jawab kami. Kebetulan hampir semua mantan Kepala Desa se kecamatan Pageruyung periode 2012-2018 kami kenal dengan baik.
opak, rengginan, kerupuk dan aneka kudapan berbahan baku pangan lokal banyak dihasilkan di berbagai desa dan kecamatan se Kabupaten Kendal. Seandainya ada aksi nyata dan program pendampingan yang serius berkelanjutan dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Pertanian dan Perkebunan, atau OPD Pemkab lainnya tentu akan berhasil guna dan berdaya saing unggul. Terutama terkait dengan kualitas produk, packaging dan jaringan pemasaran.
Pak Maat hanyalah salah satu contoh, potret wajah diri dari 50 juta lebih rakyat Indonesia yang saat sekarang masih (biasa) hidup dengan $1-US (1 Dolar USA/Rp 14.500) sehari. Masih banyak pak Maat lain yang hidup di berbagai daerah, berdiam diri pada ribuan pulau, bertempat tinggal di puluhan provinsi seluruh pelosok negeri. Sungguh mereka semua anak bangsa yang “perwira” (tidak banyak meminta dan menuntut).
Mereka semua pada umumnya pekerja keras dan tidak mau menganggur di rumah. Meski hasil kerjanya hanya cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Semangat kerja pak Maat yang tidak mau menjadi pengemis patut diapresiasi. Disaat masih adanya sebagian orang yang mau dan berani membayar mahal bahkan menyuap pejabat untuk sekedar menjadi perangkat desa atau aparatur pemerintah kabupaten/kota.
Apa yang kami temui pagi ini sangat memberi inspirasi agar tidak terbiasa berpangku tangan, semangat dan giat bekerja, serta tidak bermalas- malasan dalam mencari rejeki dari Allah Tuhan Semesta Alam.
Pak Maat juga telah menyadarkan kami, betapa masih banyak saudara kita sebangsa se tanah air yang belum bisa hidup makmur dan sejahtera secara ekonomi. Makmur yang berkeadilan, Adil dalam kemakmuran.
durian Batang
Hampir satu jam setengah kami ngobrol di teras rumah Yusuf. Bakda menghabiskan teh, kami pamit pulang. Apalagi Yusuf kedatangan Soni, salah satu pengurus Bumdes Sidomukti yang menjemputnya untuk meninjau perkembangan pembangunan Bumdes. Soni dan Yusuf mau meninjau lokasi tempat wisata milik Bumdes yang sedang dibangun.
Saat kami kembali ke rumah. 2 tas plastik besar barang dari pak Maat kami letakkan di tengah. Ditumpuk di ruang longgar antara stang motor dengan jok. Sampai di rumah, Zin tetangga kami telah terlihat merapikan tanaman di halaman rumah. Disamping pekerjaan pokok memproduksi peyek rebon dan intip goreng kesukaan keluarga kami.
Zin mempunyai ketrampilan dalam merapikan tanaman bonsai. Minimal sebulan sekali dia merawat puluhan tanaman yang kami pelihara. Diminta atau tidak, kami ada di rumah atau sedang pergi, dia rutin melakukan pekerjaan merawat tanaman kami tanpa diminta. Itupun sudah berlangsung hampir 10 tahun. Kami tinggal di dusun Pagersari desa Penaruban Weleri sudah 21 tahun. Setahun setelah Meutia Hafidz anak ketiga kami lahir. Tepatnya sejak 30 Maret 2000.
Tiba-tiba datang Ahadin dengan keranjang bambu di motornya. “Meh nawakke duren seko Batang om (mau menawarkan durian dari Batang om)” sapanya to the point. “Enak ora dhe, gek-gek anyep rak ono rasane koyo mbiyen (enak tidak pakdhe, jangan- jangan rasanya tawar seperti dulu),” jawab kami sambil membantu Zin membersihkan dedaunan di halaman. “ora enak ora usah bayar (jika rasanya tidak enak, tidak usah dibayar),” selorohnya sambil menurunkan 4 durian dari keranjang motor.
“Jal dibuka siji disik (coba dibuka satu dulu),” pinta kami.
Setelah dibuka kami diminta mencicipi. “Rasane ra patek legi tur isih magel durenne (rasanya tidak begitu manis dan masih keras buahnya)” setelah kami mencicipi 1 ‘pongge’ (biji durian).
“Jal sijine kuwi dibuka koyone luwih apik (coba satu yg lain, kelihatannya lebih bagus),” pinta kami. Dan benar dugaan kami setelah dibuka rasanya lebih legit meski buahnya belum matang 100%.
Buah durian setelah dipetik dari pohon, masih membutuhkan resting ‘dialumke’ (diistirahatkan agar getahnya layu) selama 2-3 hari sebelum dikonsumsi. Kecuali buah durian yang sudah terlanjur “mlekah” (pecah/terbuka kulitnya) di pohon. Maka harus segera dimakan atau diambili buahnya lalu disimpan di kulkas atau frezer. Jika tidak dilakukan, maka rasanya akan berubah menjadi asam.
Kami dan Zin rehat sejenak menikmati buah durian. Pakdhe Ahadin si penjual durianpun ikut menikmati, meski hanya sepotong durian. Nikmatnya makan durian rame-rame. Kami terbiasa membeli durian dari pakdhe Ahadin yang berjualan keliling kampung. Memakai sepeda motor yang dilengkapi keranjang dan ditambatkan pada kanan-kiri jok bagian belakang.
Selain efisien karena tidak perlu datang ke pasar atau desa, kami juga bisa pesan durian dari berbagai sentra di Kendal, Batang, Semarang dan Temanggung. Harganyapun wajar, jujur disampaikan berapa dia kulakan dari pengepul atau petani di pedesaan. Dari setiap durian dia mengambil untung 10-20 ribu, sesuai kualitas rasa, jenis, varietas dan ukuran. Sebuah laku muamalah yang berkeadaban. Jujur, terbuka, adil dan menguntungkan, yang insya Allah memberikan keberkahan bagi kedua belah pihak.
Setelah selesai menikmati durian, kami berdua melanjutkan kerja perawatan tanaman. Mumpung musim hujan, saatnya kita menanam atau merawat tanaman yang sudah tumbuh di pekarangan dan halaman rumah kita.
Berbagi Pangan Lokal
Siang menjelang sore, putri kami Meutia ijin mau pergi ke Semarang. Pamitnya mau menghadiri pertemuan Praja IPDN se Karesidenan Semarang dari berbagai angkatan. Tempatnya di RM Kampung Laut, restoran sea food yang kesohor di Semarang. Lokasinya di dekat akses masuk menuju bandara Ahmad Yani, satu kompleks dengan Taman Maerokoco. Semua lahan disitu milik PT PRPP, salah satu Perusda milik Pemprov Jateng.
“Pamit rumiyin nggih bapak, Tia badhe budhal Semarang (mohon pamit bapak, mbak Tia mau berangkat ke Semarang” katanya sambil mencium tangan. “Kosik sedelo ra usah kesusu,” pinta kami.
Setelah masuk ke dalam rumah sebentar, kami keluar membawa 2 plastik besar semua jajanan mentah yang tadi pagi kami beli dari pak Maat.
“Mbak Tia ini amanat bapak tolong dibagikan ke teman kamu semua,” pesan kami. “Niki menopo bapak kok kathah sanget (ini apa bapak kok banyak banget),” tanya mbak Tia. “Ini opak, rengginan dan kerupuk singkong yang bapak beli tadi pagi,” jawab kami. “Nggih siap bapak,” jawab putri kami sambil memasukkan ke dalam mobil.
Memasyarakatkan pangan lokal dan makanan daerah atau membiasakan sikap berbagi bagi anak-anak millenial harus dicontohkan secara nyata dan dibiasakan di dalam keluarga kita. Agar generasi penerus tidak kehilangan jatidiri dalam budaya makanan, serta mengenal aneka pangan lokal dan tradisional. Berbagi oleh-oleh atau buah tangan berupa aneka jenis olahan pangan lokal, selain mampu menumbuhkan ‘sense of behaviour’ rasa empati pada diri anak, juga memiliki nilai (value) lebih dari pada kita memberi uang.
Boleh jadi ketika kita memberi uang atau menyumbang teman Rp 50-100 ribu dianggap sesuatu yang kurang layak. Namun ketika kita memberi oleh-oleh pangan dan buah lokal yang unik dan langka,— meski harganya murah —, asalkan diserahkan dengan penuh ketulusan dan dipacking menarik, boleh jadi teman kita jauh lebih menyukai, menghargai dan mengingatnya sepanjang masa. Dan bukan tidak mungkin pula dijadikan status/DP sosmed penerima nya. Kemudian dishare ke berbagai group sosmed dan teman lainnya di seluruh dunia. Maka pangan lokal dan kudapan tradisional yang kita berikan menjadi populer dan terkenal se dunia. Sedekah jariyah, amal shalih yang mengalirkan pahala selamanya.
Seteguk air hujan dan sepotong singkong mentah jauh lebih bernilai bagi kehidupan seseorang yang sedang kehausan dan kelaparan di tengah hutan, daripada segepok uang.
*) Pemerhati Pangan, Praktisi Agribisnis, Pembudidaya Lebah Klanceng.