MINYAK GORENG

Sepulang jamaah maghrib di mushola dekat rumah, kami menyapa Mokhlas, tetangga yang biasa memproduksi peyek rebon (udang kecil) dan intip goreng. Dua kudapan istimewa keluarga kami. “Njaluk peyek karo intip 10 bungkus mas (minta peyek dan intip goreng 10 bungkus)“, sapa kami. “Nembe prei ndamel pak, regine minyak mboten karuan (lagi libur produksi pak, harga minyak goreng sedang meroket)”, jawabnya.

Di kampung kami tinggal setidaknya ada 15 produsen aneka kudapan, industri rumah tangga skala mikro dan kecil. Ada 2 rumah produksi peyek rebon dan intip goreng seperti Mokhlas dan Zin adiknya. Ada yang memproduksi jajan gorengan semacam tahu sumpel, tempe mendoan, singkong, sukun dan pisang goreng untuk disetorkan ke beberapa warung angkringan di Weleri. Ada juga yang jualan nasi dan bakmi goreng di teras rumah seperti Yusro, warungnya persis berhadapan dengan rumah kami.

Sejak akhir Oktober 2021, mereka semua gelisah dan pasrah seiring meroketnya harga minyak goreng di pasaran. Harga  minyak goreng curah (HPP) yang dipatok pemerintah Rp 11.000, harganya telah berubah secara cepat menjadi Rp 15.000 sampai Rp 16.000. Sedangkan harga minyak goreng kemasan naiknya lebih gila lagi, Rp 17.500 sampai Rp 18.500 per liter.

Alih Fungsi Lahan

Berdasarkan data Dirjen Perkebunan Kementan RI, luas perkebunan sawit Indonesia tahun 2021 mencapai 15 juta hektar lebih. Konon menjadi perkebunan sawit terluas di dunia. Sudah terlalu banyak alih fungsi lahan hutan (deforestasi) menjadi lahan sawit. Terutama di wilayah Kalimantan dan Sumatra. Kami pernah menyaksikan dari dekat, tahun 2016-2017, di daerah Kalimantan Barat. Bagaimana lahan hutan dengan sengaja dibakar untuk kemudian diubah menjadi lahan sawit.

Tata Ruang Wilayah Hutan yang memiliki beragam tanaman (polikultur) diubah menjadi lahan perkebunan sawit yang monokultur. Sudah barang tentu akan memberikan dampak lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang berkelanjutan di masa mendatang. Memang di negeri ini kita sering melihat dan menyaksikan bagaimana Tata Ruang Wilayah dikalahkan dengan Tata Uang Wilayah.

Undang-Undang nomor 19 tahun 2004 tentang Kehutanan, sebagai pengganti UU nomor 41 tahun 1999, telah mengamanatkan 30 persen dari luas wilayah sebagai kawasan hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, HTI, Hutan Kota, Hutan Sekolah, dll). Namun pelaksanaan UU ini di lapangan, laksana ayam hutan tanpa taji.

Deforestasi yang terjadi di Indonesia sudah pada tingkat  mengkhawatirkan atau membahayakan keseimbangan daya dukung lingkungan. Konversi lahan hutan menjadi lahan sawit paling luas terjadi di pulau Sumatra dan Kalimantan. Di pulau Jawa, konversi lahan hutan banyak beralih menjadi kawasan industri, pemukiman, infrastruktur jalan dan areal penambangan galian C.

Nyaris sempurna deforestasi yang terjadi di setiap wilayah. Semua mengatasnamakan pembangunan. Pembangunan yang mengalienasikan kalkulasi ekologi. Sehingga tidaklah mengherankan jika selama 5 tahun terakhir, di berbagai daerah terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Sebagai akibat dari berkurangnya daya serap air hujan dan air tanah, hilangnya  beragam tanaman di hutan yang gundul dan tingginya sedimentasi sungai yang parah.

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, tren alih fungsi lahan pertanian telah mengalami lonjakan yang luar biasa. Khususnya di pulau Jawa yang dikenal memiliki lahan pertanian sawah terbaik di Indonesia. Pada tahun 1990-an baru sekitar 30.000 hektar dan semakin meningkat menjadi 110.000 hektar pada tahun 2011. Pada tahun 2019 lalu telah mencapai 150.000 hektar.

Mari kita hitung dengan analisis potensi ketahanan pangan (beras) atas konversi lahan pertanian tahun 2019 seluas 150.000 hektar. Jika per hektar sawah menghasilkan 6-7 ton Gabah Kering Panen (GKP) dan setahun panen 2 kali. Maka kita kehilangan potensi ketahanan pangan sebesar 2 juta ton GKP. Lantas berapa puluh juta ton negara kehilangan potensi cadangan pangan nasional (beras) jika konversi lahan pertanian kita hitung selama 30 tahun, sejak tahun 1990 hingga tahun 2020.

Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi, khususnya di wilayah urban farming, kebanyakan berubah menjadi kawasan industri, kawasan perumahan, pembangunan jalan dan lain-lain.

Undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan  seharusnya bisa diaplikasikan secara sinergis dengan UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di dalam UU ini, Penataan Ruang suatu wilayah  diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah NKRI yang rentan terhadap bencana, potensi SDA, SDM dan sumberdaya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, hankam, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan geostrategi, geopolitik dan geoekonomi.

Jika ketiga UU (Penataan Ruang, Kehutanan dan PLP2B) ditegakkan secara konsisten dan berkeadilan kami yakin ketersediaan semua bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan secara mandiri. Bukan ketahanan pangan yang mengandalkan impor bahan pangan berdimensi jangka pendek. Sebab ketersediaan pangan dalam jangka panjang sangat terkait erat dengan tata ruang wilayah, tata lahan hutan dan tata lahan pertanian. Yang didukung  pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi pertanian dan pangan.

Sembako

Jaman Orde Baru kita diperkenalkan adanya kebutuhan pangan bagi masyarakat dengan istilah Sembilan Bahan Pokok (Sembako). Yaitu beras, garam, gula, sayuran, buah, susu, telur, daging dan minyak goreng. Ke sembilan bahan pokok bagi rakyat tersebut dijaga betul ketersediaan dan stabilitas harganya bagi seluruh penduduk Indonesia. Bahkan stabilitas harga dan ketersediaan sembako menjadi salah satu instrumen utama untuk menilai keberhasilan  pembangunan bagi seorang pejabat publik (menteri, gubernur, bupati dan walikota) dalam memimpin departemen atau wilayah (provinsi/kabupaten/kota).

Politik pangan dan pertanian dijalankan dengan instrumen & indikator-indikator yang terukur secara baik dan jelas, sebagaimana termaktub dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Keberhasilan swasembada beras nasional pada tahun 1984 adalah bukti atas konsistensi  pelaksanaan  perencanan pembangunan pertanian dan pangan yang dijalankan rezim Orba. Dengan produksi beras sebanyak 25,8 juta ton (1984) Indonesia mengalami surplus beras untuk memenuhi kebutuhan 150 juta penduduk Indonesia saat itu.

Tata Ruang Wilayah

Kita musti belajar dari berbagai negara tentang arti penting Tata Ruang Wilayah bagi sebuah negara. Termasuk Tata Ruang Pertanian dan Kehutanan, dua sektor yang menjadi sumber bahan pangan bagi rakyat. Tingginya deforestasi dan konversi lahan pertanian hendaknya menjadikan ‘tazkirah’ (pengingat) dari alam dan alarm bagi pemerintah dan pemerintah daerah. Penguasa sudah seharusnya menjalankan amanah sebagai aparat dan pejabat negara/daerah untuk meraih berkah. Program kebijakan wajib dijalankan dengan landasan nilai ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan, hikmah kebijaksaan dan keadilan sosial.

Sumberdaya alam yang melimpah ruah harus kita syukuri sebagai anugerah Allah Tuhan yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. SDA tersebut harus dijaga, dipelihara, dikelola dan dimanfaatkan dengan penuh keadaban untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Sebab semua kawasan hutan dan lahan pertanian merupakan titipan illahi dan titipan anak cucu generasi penerus bangsa ini. Bukan warisan dari nenek moyang kita terdahulu.

Kami teringat ketika diberi kesempatan belajar sedikit ilmu tentang Tata Ruang Wilayah pada tahun 2006 di German, yang difasilitasi oleh GTZ-RED dan Kadin German. Kebetulan disana sedang berlangsung _hearing_, uji publik selama 2 tahun sebagai bagian dari partisipasi publik pada proses  penyusunan legal drafting RTRW German. DPR, Pemerintah, NGO (Ormas/Kelompok Profesi/LSM), akademisi, pengusaha dan kelompok masyarakat lain dilibatkan secara terbuka dan merdeka.

Sekedar sebagai pengetahuan, bahwa Tata Ruang Wilayah German ditetapkan dengan UU untuk kurun waktu 100 tahun. Siapapun Kepala Negara dan Pemerintahan (Kanselir), Menteri, Gubernur, Kepala Daerah/Walikota, pengusaha dan rakyat wajib menaati dan tunduk dengan UU tersebut. Sanksi pelanggaran terhadap UU Tata Ruang sangat berat, berupa hukuman badan dan denda. Visi, misi dan aksi program kerja pemerintah wajib mengacu dan menaati UU Tata Ruang Wilayah. Bukan sebaliknya, tata ruang wilayah yang dengan mudah ‘disesuaikan’ dengan keinginan tata uang penguasa.

Di Indonesia Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibuat untuk jangka waktu 25-30 tahun, serta ‘diperbolehkan’ melakukan evaluasi setiap 5 tahun sekali. Sementara masa jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali selama 2 periode. Artinya pemerintah dan pemerintah daerah bersama DPR/DPRD ‘bisa merubah’ RTRW sesuai kepentingan- nya. Adanya celah kelemahan dalam penerapan UU RTRW inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh oligarkhi ekonomi untuk merubah Tata Ruang Wilayah sesuai kepentingan Tata Uang Wilayah- nya.

Hikmah Dibalik Minyak Goreng

Naiknya harga minyak goreng hampir 50 persen dari HPP yang ditetapkan pemerintah telah memberi pelajaran berharga. Nalar dan logika waras rakyat kecil produsen makanan skala rumah tangga, tentu tidak mampu menelaah mengapa hal itu terjadi. Di sisi lain, adanya fakta dan data betapa luas lahan perkebunan sawit di Indonesia, 15 juta hektar lebih.

Berdasarkan data PIHPS (30/11/2021), harga minyak goreng curah mencapai Rp 17.700 per kg dan minyak goreng kemasan bermerk I Rp 19.299 dan bermerk II Rp 18.800 per kg. Sebuah harga yang membuat _’megap-megap’_ (sulit bernafas) dan memaksa industri makanan skala rumah tangga puasa produksi. Sebagian kecil lainnya memilih mengurangi produksi atau ukuran produk. Pelaku UMKM harus tetap semangat berproduksi meski hasilnya hanya cukup untuk makan sehari dan menjaga asa agar tetap ada.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan telah menyampaikan adanya 3 faktor penyebab harga minyak goreng naik tinggi. Dirjen PDN menyampaikan pada saat webiner INDEF, Rabu 24/11/2021, sebagaimana dirilis oleh beberapa media massa nasional.

Ketiga faktor itu yaitu adanya penurunan pasokan bahan baku minyak goreng (CPO), adanya krisis energi di Eropa dan banyaknya produsen minyak goreng di Indonesia yang belum terafiliasi dengan kebun sawit penghasil CPO.

Sebenarnya masih ada alasan yang mudah untuk disampaikan ke publik. Yaitu adanya pandemi Covid-19 dan cuaca buruk. Dua alasan yang seakan-akan _’tinemu nalar’_, tapi sulit dicerna dengan cipta, rasa dan karsa yang tulus dari rakyat kebanyakan. Tapi senyatanya di Orde Baru-baru ini, pandemi menjadi alasan yang paling mujarab bagi pejabat yang tidak mampu melaksanakan seluruh target program kerjanya.

Kami jadi teringat wasiat Bung Karno, proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia yang mengajak segenap anak bangsa untuk dapat mewujudkan Trisakti. Yakni berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kami jadi bertanya kapan kemandirian  dan kedaulatan pangan Indonesia akan terwujud.

Setelah kami menyelesaikan tulisan ini, tiba-tiba ada WA masuk ke HP dari teman lama. Dia mengirim meme bergambar foto mantan Presiden Soeharto disertai tulisan: _”piye le isih kepenak jamanku to (gimana nak masih enak jaman saya kan)”_.

Merdeka…!!!

Wallahu’alam

_Klatara, 8/12/2021_

*) Pemerhati Pangan, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jateng.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *