MENYAMBUT PILPRES 2024

Pemilu Serentak 2024 adalah pemilu ke sembilan yang saya ikuti sejak pertama kali memiliki hak pilih pada pemilu 1987. Sebuah pemilu yang memiliki tingkat kerumitan tertinggi, dari sisi teknis penyelenggaraan. Pertama, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan serentak berbarengan dengan Pemilihan Umum Anggota Legislatif (Pileg) : DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sering dikenal dengan Pemilu 5 Kotak. Hari pemungutan suara sudah ditentukan, Rabu 14 Februari 2024. Kedua, Pemilihan Umum Kepala Daerah (biasa disebut Pilkada) serentak, yang dilaksanakan pada 27 November 2024. Meliputi 548 daerah, dengan rincian 37 Provinsi (Pilgub), 415 Kabupaten (Pilbup) dan 93 Kota (Pilwakot).

Kerumitan lain bisa dilihat dari sisi Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) yang telah, sedang dan akan mengadakan seleksi pergantian komisioner Bawaslu dan KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota karena masa pengabdiannya berakhir tidak sama. Ditambah pelaksanaan seleksi yang berisisan dengan tahapan pemilu yang sedang berjalan, yaitu 20 bulan sebelum hari pemungutan suara (14 Februari 2024). Untuk menjadi Komisioner Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu) tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota dibutuhkan pengalaman “rekam jejak” yang handal dari sisi integritas, ilmu kepemiluan, ketrampilan merumuskan dan menyelesaikan masalah, kemandirian dan profesionalitas, serta batas usia minimal sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku. Bagi komisioner tingkat Kabupaten/Kota minimal berusia 30 tahun, tingkat Provinsi 35 tahun dan Pusat 40 tahun. Sebuah batas usia minimal yang selaras dengan batas minimal Capres dan Cawapres sesuai konstitusi UUD 1945.

Masyarakat terhenyak kaget tatkala Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dan menetapkan “perubahan” persyaratan minimal usia calon presiden dan wakil presiden. Pengajuan Judicial Review (JR) terkait batas usia minimal capres-cawapres disampaikan oleh berbagai kalangan. Drama demokrasi berlanjut dengan pengajuan beberapa OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) dan kalangan akademisi ke Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) atas dugaan terjadinya konflik kepentingan Ketua MK yang memiliki “sanad nasab” politik dan keluarga dengan Presiden. Meski MKMK telah menjatuhkan sanksi berat kepada Ketua MK yang memutus perkara JR tersebut, nampaknya sebagian OMS (Organisasi Masyarakat Sipil), pakar hukum tata negara, komponen mahasiswa dan masyarakat terlanjur membaca serta menilai terjadinya politik hukum dan adanya “cawe-cawe” Presiden agar dapat meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang berusia kurang dari 40 tahun menjadi salah satu bacawapres pada Pilpres 2024.

Sebagaimana kita saksikan di berbagai pemberitaan media publik maupun laman resmi KPU RI, 3 pasangan bakal capres-cawapres telah mendaftarkan diri dan memenuhi syarat administratif serta selesai menjalani tes kesehatan sesuai norma yang berlaku. Ketiga pasangan tersebut, yaitu Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar/Cak Imin, Ganjar Pranowo dengan Mahfud MD, serta Prabowo Subianto dengan Gibran. Masyarakat masih menunggu Penetapan dan Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, yang rencananya akan dilaksanakan KPU RI pada tanggal 13 dan 14 November 2024.

Kampanye Pilpres

Masa “kampanye resmi” pemilu 2024 lebih singkat, yaitu tanggal 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Namun begitu kita bisa menyaksikan bacapres-cawapres yang telah melakukan berbagai kampanye “tidak resmi” berupa deklarasi capres-cawapres, pertemuan dan konsolidasi timses dan tim kampanye di berbagai tingkatan, pemasangan baliho dan alat peraga kampanye, pembuatan posko pemenangan, kegiatan jalan sehat bersama bacapres-cawapres, meme dan sticker di medsos, rekruitmen relawan, dan sebagainya.

Ada pernyataan menarik dari Eep Syaifullah Fatah, salah seorang analis politik yang juga Direktur Political Marketing Consulting (PolMark) dalam sebuah pertemuan konsolidasi PKS sebagai salah satu partai pengusung bacapres Anies Baswedan. Yaitu adanya “Amien Rais Syndrome” saat berbicara mengenai elektabilitas Anies Baswedan dan Cak Imin. Tak sedikit masyarakat yang penasaran mengenai apa itu Amien Rais Syndrome (ARS). ARS merujuk terhadap fenomena elektoral Amien Rais pada Pilpres pertama tahun 2004. Seperti diketahui, sebagai tokoh gerakan reformasi 1998, saat itu sosok Amien Rais sangat populer di kalangan rakyat. Setiap kegiatan kampanye yang dihadiri Amien Rais selalu ramai didatangi puluhan ribu orang. Namun popularitas yang diraih berbanding terbalik dengan perolehan suara pada Pilpres 2004, hanya sebesar 14,66 persen dan menempati posisi keempat dari lima kandidat.

Saya bisa memahami dan merasakan apa yang disampaikan oleh Eep tersebut. Apalagi pernah terlibat sebagai koordinator Tim Kampanye Jateng untuk pasangan Amien-Siswono pada Pilpres 2004. Banyaknya warga yang datang saat kampanye tidak sama dan sebanding dengan jumlah suara yang diraih saat Pilpres dilaksanakan pada 5 Juli 2004. Saya menjadi mengetahui dan faham bahwa elektabilitas (tingkat “dipilih” atau keterpilihan) seorang kandidat itu lebih ditentukan oleh Akseptabilitas (tingkat “diterima” atau keterpenerimaan) oleh pemilih atau rakyat, ketimbang Popularitas (tingkat “dikenal” atau keterkenalan) dan “isi tas” (jumlah kekayaan dan aset yang dimiliki) seorang kandidat atau capres-cawapres.

Sebagai pemilih yang berdaulat dan tdak melibatkan diri sebagai Caleg maupun Tim Kampanye pada Pilpres 2024, kami berharap pemilu serentak 2024 dapat berjalan dengan aman, lancar, LUBER-JURDIL dan berkeadaban. Masih ada waktu tiga bulan bagi setiap pasangan Capres dan Cawapres untuk mengambil “hati rakyat” sebagai pemilik suara agar “diterima” dan “dipilih”. Buatlah tim sukses dan tim kampanye yang unggul, sosialisasikan visi-misi dan program yang mampu memberikan harapan perbaikan hidup rakyat, bentuk guraklih (regu penggerak pemilih) di setiap desa yang mempesona, serta manfaatkan jaringan timses caleg dan aktivis parpol pengusung yang handal. Sebab sesungguhnya perebutan suara terjadi pada bilik suara di setiap TPS. Bantu penyelenggaraan pemilu agar berjalan baik dengan menempatkan 1-2 orang saksi dan pemantau mandiri di setiap TPS.

Sebagai warga bangsa, kami berharap Pilpres bisa berjalan dalam 2 putaran, siapapun nanti pasangan Capres-Cawapres yang akan memenangkan kontestasi demokrasi. Namanya saja Pesta Demokrasi, harus dilaksanakan dengan penuh menggembirakan rakyat sebagai pemilik suara yang merdeka dan berdaulat. Dengan dua putaran Pilpres, rakyat mendapat “qodaran” (keberuntungan) dua kali. Setidaknya pelaku UMKM bisa mendapatkan rejeki tambahan dari berjualan beragam makanan dan minuman bagi penyelenggara pemilu ad-hock : PPK//PPS/ KPPS dan Panwascam/PKD/PTPS, timses/saksi dan masyarakat yang hadir di TPS; para tukang sablon dan cetak MMT mendapatkan order lagi; industri percetakan dan perusahaan kurir mendapatkan tambahan pesanan cetakan kartu suara dan jasa pengiriman; serta para saksi mendapatkan honor kembali.

Mari “Berperan” aktif sebagai pemilih yang berdaulat pada Pemilu 2024, jangan “Baperan” apalagi sampai bermusuhan dengan sanak saudara dan tetangga. Oh ya jangan lupa, harus bergembira dan berkemajuan menyambut pesta demokrasi lima tahunan.
Wallahu’alam

Weleri, 12 November 2023
*) Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *