#25-BelajarBudidayaKlanceng
Khafid Sirotudin
Akankah lebah punah?
Albert Einstein (1879-1955), fisikawan penemu Teori Relativitas pernah mengungkapkan: “Jika lebah menghilang dari permukaan bumi, manusia hanya punya sisa waktu hidup empat tahun lagi”. Einstein memang bukan peternak lebah, juga bukan seorang ahli yang mempelajari ilmu tentang serangga (entomologis). Namun kami yakin Einstein seorang ilmuwan yang rajin mengkonsumsi madu. Mengingat pada tahun 1734 di Slovenia sudah terdapat peternakan lebah madu modern pada jaman ‘semo-now’ (Jawa : dahulu).
Seabad lebih sebelum Einstein lahir. Jika mengingat pernyataan Einstein, barangkali akan terlintas sekilas di pikiran kita bahwa punahnya lebah tidak terlihat sebagai sebuah masalah yang besar. Toh masih banyak orang sampai sekarang yang masih bisa hidup sehat tanpa mengkonsumsi madu selama bertahun-tahun.
Berdasarkan data yang kami peroleh, tingkat konsumsi madu rata-rata orang Indonesia baru sebesar 10 gram per orang per tahun. Setara dengan 1 sendok makan madu setahun. Punahnya lebah bukan sekedar punahnya madu sebagai sumber penghasilan bagi para peternak lebah. Namun hal terpenting dari lebah adalah penyerbukan bagi tanaman dan pasokan pangan bagi manusia.
Lebah madu berperan sangat penting bagi 80 persen lebih tanaman hortikultura (buah-buahan dan sayuran) serta 90 persen lebih tanaman berbunga. Sejalan dengan apa yang pernah dirilis oleh entomologis S.E. Mc. Gregor dalam Insect Pollination of Cultivated Crops Plants pada tahun 1976. Beliau menyatakan: “sepertiga dari makanan kita, langsung atau tidak langsung bergantung pada produk tanaman yang diserbuki oleh serangga. Dan lebah madu berperan atas tiap gigitan ketiga dari makanan yang kita kunyah”.
Masyarakat Eropa dan Amerika pernah dihebohkan dengan berbagai laporan tentang hilangnya populasi lebah madu. Koloni lebah yang gagal bertahan pada musim dingin tahun 2011 di AS meningkat 30-35% dari 10% sebelumnya. Di Jerman populasi lebah menurun 25%. Bahkan di beberapa negara lain banyak populasi lebah musnah sirna tanpa bekas.
Di Aumori Jepang, petani apel menempatkan ‘pring tulup’ (Jawa : bambu berdiameter kecil 1-cm) yang dipotong pendek satu ruas, pada rak-rak khusus setiap jarak 100 meter di sepanjang perkebunan Apel Fuji disana. Bambu-bambu kecil inilah yang ditempati telur, larva dan pupa (kepompong) selama musim dingin. Lalu berubah menjadi lebah muda di awal musim semi tiba. Sebab lebah merupakan salah satu hewan yang mengalami proses metamorfosis secara sempurna.
Sadar akan peran lebah sebagai agen hayati penyerbuk utama berbagai tanaman penghasil bahan pangan, Pemerintah Barrack Obama di AS pernah mengalokasikan USD 82,5 juta untuk mendanai berbagai riset tentang lebah. Di beberapa negara maju lainnya, perhatian pemerintah dalam menjaga keberlangsungan kehidupan lebah dan hewan pollinator lainnya mendapatkan porsi memadai dengan pengalokasian anggaran yang cukup.
Hilangnya populasi lebah dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Antara lain: deforestasi, habitat yang menyusut, karhutla, rusaknya lingkungan hidup, penggunaan pestisida berlebihan, naiknya suhu bumi/global warming, berbagai hama dan penyakit yang menyerang lebah, predator yang meningkat akibat ketidakseimbangan alam, dan sebagainya. Berbagai upaya untuk melestarikan dan mengembangkan lebah masih dilakukan hingga sekarang. Terutama di negara-negara yang pemerintahnya memiliki kepedulian yang besar akan arti pentingnya kehadiran lebah sebagai pollinator utama bagi puluhan ribu jenis tanaman. Tak terkecuali tanaman kapas sebagai bahan baku sandang, yang membutuhkan bantuan lebah dalam penyerbukannya.
Sependek pengetahuan kami, hingga kini kami belum menemukan data dan fakta adanya keseriusan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menjaga keberlangsungan hidup ratusan spesies lebah madu, baik Apis sp. (stingbee/lebah bersengat) maupun Trigona sp. (stingless bee/lebah tanpa sengat). Program ketahanan pangan masih mengalienasikan peran dan posisi lebah sebagai aktor penting polinasi bagi ratusan jenis tanaman pangan yang terdapat di Indonesia. Setidaknya tercermin dari APBN/APBD yang terpublikasikan secara resmi di berbagai media.
Kita lebih semangat membahas naiknya harga cabai rawit, turunnya harga bawang merah, meroketnya harga minyak goreng, anjloknya harga telur dan naiknya harga berbagai ‘komoditas politis’ lainnya ketimbang ancaman punahnya lebah dan masih minimnya produksi dan tingkat konsumsi madu nusantara. Punahnya lebah di berbagai wilayah dan pulau di Indonesia, agaknya belum menyadarkan kita semua akan adanya ancaman produksi pangan di masa mendatang.
Belum tercapainya swasembada beberapa komoditas pangan nasional berbanding lurus dengan menurunnya populasi lebah yang hidup di seluruh wilayah nusantara. Tentu membutuhkan penelitian dari para pakar entomologis yang lebih spesifik terkait hipotesa yang kami sampaikan ini. Padahal kita tahu bahwa ketahanan nasional suatu bangsa tergantung dari ketahanan pangannya. Pepatah Jawa menyatakan: “weteng wareg pikirane teteg, weteng ngelih iman lan pikirane bisa malih” (perut kenyang membuat pikiran tenang, perut lapar bisa membuat iman dan pikiran terkapar).
Dari sisi ekonomi kelembagaan dan politik anggaran, kami juga belum melihat adanya angka pengalokasian anggaran yang cukup memadai di berbagai kementerian/departemen terkait dan SKPD di Pemerintah Daerah. Tetapi kami sedikit lega sejak TA 2021 lalu, kementerian pertanian sudah mulai sadar dengan mengalokasikan sedikit anggaran untuk pengembangan lebah sebagai agen hayati.
Problem kelembagaan lain yaitu masih belum jelasnya departemen/dinas pengampu yang menaungi para pembudidaya dan pemulia lebah madu. Masih beruntung ada Apiari Pramuka yang sejak 1971 mengembangkan budidaya lebah madu Apis mellifera di berbagai daerah. Membentang dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Akan tetapi–maaf–dari sisi produktivitas madu dunia kita masih ketinggalan jauh. Indonesia masih mengimpor 10.000 ton madu untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman.
Bagi kalangan praktisi pembudidaya perlebahan di berbagai daerah, umumnya UMKM dengan skala kepemilikan dibawah 100 stup/koloni, masih belum bisa merasakan ‘manisnya madu’ dari kehadiran negara dan uluran tangan pemerintah daerah di masing-masing provinsi/kabupaten/kota. Hampir semua peternak lebah di daerah bekerja mandiri, beternak secara gotong-royong atau berjamaah sesama peternak. Bahkan dunia perbankan dan lembaga keuangan-pun masih belum melihat sektor perlebahan madu sebagai unit usaha UMKM yang layak dikucuri modal dengan tingkat bunga rendah dibandingkan sektor lainnya.
Sudahkah kita minum madu hari ini?
Tegalmulyo, 20 Mei 2022.
*) Pemerhati Pangan, Founder HIBTAKI, Pembudidaya Klanceng