Kebangkitan Lebah Madu Nasional

Sejak 20 Mei 2018, masyarakat dunia memperingati Hari Lebah se-Dunia (World Bee Day) untuk pertama kalinya. Dan sejak itu, setiap tanggal 20 Mei masyarakat dunia memperingatinya setiap tahun.

Ditetapkannya tanggal itu, terkait erat dengan sosok Anton Jansa (lahir 20 Mei 1734), warga Slovenia, pelopor pembudidaya lebah di negara asalnya.

Anton Jansa berasal dari keluarga peternak lebah dan mendaftar sekolah pemeliharaan lebah pertama di Eropa pada tahun 1766. Sejak tahun 1769, dia berkhidmat penuh waktu sebagai peternak lebah sampai meninggal dunia tahun 1773 karena typus. Karya tulis Anton berupa buku ‘Diskusi tentang Pemeliharaan Lebah’ diterbitkan dalam bahasa Jerman pada 1771. Buku yang sangat menginspirasi dan menjadi rujukan ‘sanad ilmu’ dari ‘asabiqul awwalun’ (pelopor awal) bagi peternakan lebah secara modern dan berkembang hingga sekarang.

Pada Konferensi Regional FAO untuk Eropa tahun 2016, Republik Slovenia mengusulkan Hari Lebah Sedunia untuk dirayakan pada tanggal 20 Mei setiap tahun. Didukung oleh Apimondia, Federasi Internasional Asosiasi Peternak Lebah, proposal World Bee Day diajukan pada Konferensi FAO sesi ke-40 pada tahun 2017. Akhirnya Majelis Umum PBB dengan suara bulat menetapkan 20 Mei sebagai Hari Lebah Sedunia, dan 20 Mei 2018 peringatan World Bee Day untuk pertama kali diadakan.

Tema WBD

Hari Lebah Sedunia atau World Bee Day (WBD) tahun 2021, mengusung tema: “Tiny workers which help produce nutritious and diverse fruits and vegetables”. Secara bebas kami terjemahkan menjadi “pekerja kecil yang membantu menghasilkan/memproduksi nutrisi, beraneka ragam buah dan sayuran”.

Barangkali sebagian masyarakat tidak ‘nggalbo’ (Jawa: sadar, peduli) jika penyerbukan tanaman buah dan sayuran sangat membutuhkan peran serta lebah sebagai hewan penyerbuk, salah satu penyerbuk biotik yang paling handal.

Menurut ahli Entomologi, cabang ilmu zoologi/biologi yang mempelajari serangga, hampir 90% bunga liar, 80 % tanaman hortikultura (buah dan sayuran), 35% tanaman di dunia, proses penyerbukannya dilakukan oleh lebah. Dan sisanya dilakukan oleh penyerbuk biotik lain seperti kumbang, semut, kupu-kupu, burung dan bermacam jenis serangga lainnya.

Peringatan WBD dimaksudkan untuk menggugah kesadaran manusia se dunia, bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa telah memfasilitasi manusia dengan beragam makhluk-Nya untuk mendukung, menjaga dan memelihara eksistensi kehidupannya di dunia. Sekaligus menyadarkan bahwa manusia tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan pokok (pangan, air, herbal dan obat2an) untuk bertahan hidup, tanpa peran serta dan bantuan (sedekah) dari hewan dan tanaman. Baik yang hidup di alam makro kosmos (inderawi) maupun mikro kosmos (non inderawi: bakteri, virus, protozoa, dsb). Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan merupakan sub-sistem yang saling terkait, saling tergantung satu sama lain, salin asah-asih- asuh dari sebuah ekosistem.

Peringatan WBD memiliki tujuan bagi upaya penyelamatan lingkungan; mendidik masyarakat dunia tentang peran penting hewan penyerbuk khususnya lebah; menjaga kehidupan keanekaragaman hayati dan ekosistem yang berkelanjutan.

Lebah dan hewan penyerbuk lain juga membantu kita untuk beradaptasi dengan perubahan iklim akibat perilaku buruk manusia terhadap lingkungan. Kehidupan lebah memberikan pelajaran penting bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan global seperti kelaparan dan kekeringan. WBD juga mengetuk kesadaran kolektif bagi suatu bangsa untuk mengambil peran positif dan bermanfaat (amal shalih), real action (aksi nyata) ‘sekecil apapun’ bagi sesama dan alam semesta selama hidup di dunia.

Lebah adalah hewan penyerbuk, serangga kecil nan eksotik dan menarik. Lebah selalu hidup dalam koloni, satu komunitas (berjamiyyah, bersinergi). Satu koloni, satu sarang, satu spesies. Jika ada telur bakal ratu lebah menetas, maka secara alamiah koloni akan melakukan splitting membentuk koloni baru, membangun sarang baru di tempat lain.

Koloni lebah yang hidup di wilayah tropis (2 musim) maupun sub tropis (4 musim), biasa membangun sarangnya di tanah dan perbukitan, pada lubang-lubang pepohonan atau menempel pada dahan, serta di lokasi dan tempat-tempat buatan manusia.

Di dalam sarang, setiap satu koloni lebah, terdapat seekor ratu (pemimpin koloni; bertelur menjaga regenerasi), sebagian kecil lebah pejantan (mengawini ratu; drone; menjaga sarang) dan sebagian besar lebah betina pekerja (female bee worker: kerja mencari nektar-pollen-resin; memproduksi madu). Semua bekerja sesuai titah dalam menjalani sunatullah-Nya. Setiap anggota koloni lebah melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

Lebah, sejak awal penciptaannya, dihadirkan Tuhan untuk mendukung dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, tanaman dan hewan lainnya. Selain membantu penyerbukan beragam tanaman, hasil produksi lebah berupa madu, bee pollen, royal jelly, propolis, venom, bee wax telah lama dimanfaatkan manusia sejak ribuan tahun lamanya. Disamping untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan dan obat-obatan, madu dari lebah juga bermanfaat sebagai pemanis makanan dan minuman, sumber energi, antiseptik, pengobatan luka dan sebagainya.

Seekor lebah mampu memberikan pelajaran dan ilmu penting tentang hakekat kehidupan kita. Bahwa ternyata ‘berpikir dan bertindak kecil secara istiqomah (riil, konsisten dan berkelanjutan) merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan hal ihwal permasalahan yang besar.’ Umur lebah betina pekerja hanya berkisar 2-4 bulan. Suatu umur yang sangat pendek jika dibandingkan dengan umur manusia dan umur tanaman, serta kelangsungan dunia dan alam semesta.

Namun dengan umur yang relatif pendek itu, lebah telah bekerja menghabiskan waktu secara optimal untuk membantu penyerbukan tanaman; selalu bermanfaat dan tidak pernah merusak bunga dan ranting vegetasi yang dihinggapi; mengumpulkan nektar (bahan baku madu), pollen (bahan baku bee-pollen/bee-bread) dan resin (raw material propolis) yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Sebuah pengabdian hidup yang luar biasa, meski mereka melakukannya bukan untuk memenuhi segala kepentingan pribadi dan keinginan koloni.

Seekor lebah betina pekerja barangkali hanya menghasilkan 0,5 ml/cc madu sepanjang hidupnya. Dan itupun, dia tidak mendapatkan manfaat langsung dari madu yang dihasilkannya. Seekor lebah memproduksi madu bukan untuk kepentingan diri, tetapi untuk menyiapkan generasi pengganti setelah ia mati.

Masihkah manusia abai, kufur nikmat dan tidak mau bersyukur dengan hidayah-Nya berupa seekor lebah, serangga berukuran kecil namun mampu memberikan manfaat besar bagi kelangsungan kehidupan manusia di dunia?.

Dengan memperingati Hari Lebah Sedunia, semoga kita dapat merubah cara berpikir dan bertindak yang baik. Sebagai insan yang berperadaban unggul, sebaiknya kita tidak perlu berkecil hati dan merisaukan kontribusi kecil yang bisa kita berikan dalam kehidupan. Asalkan baik dan bermanfaat sudah seharusnya kita lakukan. Biarkan kontribusi kecil kita bersinergi dan menyatu dengan kontribusi kecil lain dari sesama, sehingga menjadi besar dan berpengaruh bagi perbaikan serta keberlangsungan kehidupan sesama makhluk-Nya di dunia hingga H-1 kiamat.

Belajar dari Jepang

Kami bersyukur pada tahun 2013 mendapat kesempatan mengikuti farm trip dan business gathering di Jepang, yang difasilitasi penuh oleh Kementerian Pertanian Jepang dan Asosiasi Petani Apel Jepang. Selama sepekan kami bisa melihat dari dekat, berdialog, berdiskusi, belajar dan tadabur alam secara langsung dengan stakeholders. Tepatnya di Prefektur Aomori yang terletak di wilayah Tohoku, bagian utara pulau Honshu. Aomori merupakan wilayah pertanian apel fuji terluas di Jepang dan terbaik dunia. Petani Aomori memiliki sejarah panjang membudidayakan Apel Fuji sejak tahun 1830-an.

Ada yang mengusik pikiran, ketika kami melihat dari dekat jutaan tanaman apel pada satu kawasan perkebunan seluas 25.000-an hektar, yang ditanami 8 varietas unggul apel fuji. Kami terpesona dengan konsistensi profesi sebagai petani apel, ilmu dan teknologi budidaya apel Aomori yang sangat maju, menjaga budaya/kultur sesuai kearifan lokal, menjaga secara baik lingkungan dan kawasan perkebunan dengan memuliakan lebah sebagai hewan penyerbuk. Padahal tanaman apel disana usianya rata-rata diatas 25-30 tahun, dengan produksi apel rata-rata 250 kg per pohon per tahun.

Sepanjang mata memandang perkebunan apel, kami melihat semacam kotak almari/selter dari kayu setinggi 1,5-2 meter, dengan lebar 60-100 cm dan terbagi menjadi 4-5 kotak semacam loker terbuka, tersusun dari bawah ke atas. Pada masing-masing loker ditempatkan ratusan potongan bambu- bambu kecil (Jawa: pring tulup). Antara satu selter/almari berjarak 100-200 an meter dan berjejer rapi di sepanjang kebun apel.

Pada saat berkunjung ke Laboratorium Apel Aomori, kami menyaksikan ratusan sampel apel dari seluruh dunia. Setiap sampel yang terlihat masih segar, ditempatkan pada kotak kaca kedap udara yang tersusun rapi, enak dipandang mata. Setiap sampel diberi keterangan nama, jenis apel dan asal negaranya. Salah satunya ‘apel manalagi’ asal Malang Indonesia yang nasibnya belum mujur.

Kami juga melihat secara langsung ribuan pohon apel berbagai varietas yang pernah ditanam petani apel Aomori, dari masa ke masa. Luasnya kira-kira 2-3 hektar sebagai kebun penelitian, terletak di samping kanan-kiri gedung laboratorium apel memanjang ke belakang. Setiap pohon diberi label dan keterangan singkat. Dari label setiap tanaman apel itu, kami menjadi tahu adanya tanaman apel yang berusia lebih dari 130 tahun.

Pada saat dialog santai dan serius di meeting room, kami sempat menanyakan kepada Sang Profesor (65 tahun), pakar Apel yang telah berkhidmat selama 40 tahun lebih. Sebuah kerja yang profesional, konsisten, berdedikasi dan fokus dalam mengamati, meneliti, memuliakan dan mengembangkan apel di Aomori. Tugas profesional lainnya adalah mendampingi petani, tempat bertanya dan menjadi rujukan bagi petani.

“Maaf Prof, mengapa setiap 100-200 meter di perkebunan apel disediakan ribuan potongan bambu2 kecil” tanya saya penuh selidik, yang ditranslate ke bahasa Jepang oleh penerjemah kami.
Prof menjawab:
“Anda kan biasa puasa sebulan di Indonesia. Tapi orang Jepang dan pohon apel disini sudah biasa berpuasa selama 3 bulan setiap tahun”, ujarnya sambil tersenyum.
Batin kami Prof menyindir saya warga muslim Indonesia sambil senyam- senyum sendiri.
“Apa hubungannya dengan puasa Prof” tanya saya selanjutnya.
“Pada saat musim dingin, semua tanaman berpuasa dan semua lebah-pun tidak ada yang ‘hidup’. Maka sebelum musim dingin tiba, kami sediakan bambu2 kecil agar lebah bisa menempatkan telur. Setelah menetas menjadi larva, kemudian berubah menjadi pupa. Pada saat awal musim semi tiba pupa-2 sudah berubah menjadi lebah muda”.
Prof menjelaskan lebih lanjut:
“Pada saat musim semi, tanaman apel mulai tunas, membentuk daun dan selanjutnya berbunga. Saat berbunga itulah tanaman apel sangat membutuhkan ribuan lebah untuk melakukan penyerbukan”.

Pakar ahli apel dan petani Aomori selalu rajin belajar dari alam sekitar. Petani Aomori pernah mengalami gagal panen beberapa kali. Yakni ketika koloni lebah menyusut drastis bahkan sebagaian besar lebah mati akibat musim dingin ekstrem yang pernah terjadi di masa lalu.

Subhanallah, masya Allah, tanpa sadar bibir kami komat- kamit melafadzkan secara sirr (lirih) pujian kepada Tuhan Semesta Alam.

Sejak saat itu, kami menjadi paham dan mafhum mengapa tanaman apel di Aomori bisa memproduksi apel segar rata-rata 250 kg (2,5 kwintal) per pohon per tahun.

Ternyata salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya tanaman yakni memuliakan lebah sebagai penyerbuk biotik. Tentu faktor lainnya juga sangat diperhatikan, al: bibit unggul, pupuk organik, pestisida ramah lingkungan, saprotan dan alsintan yang baik, air yang cukup serta teknologi pertanian yang tepat guna sehingga mampu diaplikasikan secara baik oleh semua petani.

Sejak dijelaskan oleh Prof di Aomori, pikiran kami menjadi terbuka lebar (Jawa: megar) dan paham mengapa peternak lebah di Australia dan New Zealand selalu dibutuhkan petani disana. Dikala musim bunga tiba, para petani berkenan menyewa dan berani membayar mahal ‘jasa penyerbukan’ lebah milik para peternak lebah madu demi mengaharapkan hasil produksi buah dan sayuran yang maksimal.

SDA dan Perlebahan Indonesia

Kita patut bersyukur hidup di Indonesia. Sebuah negara yang wilayahnya dilalui garis katulistiwa. Allah Tuhan yang Maha Pemurah merahmati bangsa kita dengan sumberdaya alam yang melimpah ruah, tanah yang subur, hutan hujan tropis beserta ribuan plasma nutfah dan ratusan jenis hewan endemik yang hanya ada di negara kita. Indonesia adalah negara dengan ‘mega biodiversitas’ terbaik dan terbanyak di dunia. Barangkali hanya negara Brasil yang bisa menyainginya.

Namun keadaan SDA nasional saat ini sangat membutuhkan perhatian yang serius dan komitmen yang sungguh-sungguh dari segenap anak bangsa. Sejujurnya kami prihatin dengan kondisi SDA kita saat ini, untuk tidak mengatakan kecewa. Secara kasat mata, sesungguhnya kita mengalami ‘prahara budaya bangsa’ atas sejumlah data dan fakta-2 SDA yang semakin merana. Tidak hanya terjadi di pulau Jawa saja, tapi juga memapar pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua.

Kami pernah menyaksikan bagaimana saudara kami dari Yayasan Durian Nusantara melakukan derma, bersedekah puluhan juta rupiah hanya untuk membayar mahal dan mempertahankan ‘sebuah pohon durian’ di hutan, yang usianya ratusan tahun di suatu daerah di Kalimantan Barat, berbatasan dengan Malaysia. Agar 1 pohon durian yang memiliki lingkar batang 2 kali bentangan dua tangan orang dewasa itu, tidak ikut dibakar guna diubah menjadi lahan sawit oleh masyarakat setempat.

Dan tahukah kita, adanya pohon durian yang berbuah di suatu lokasi menunjukkan dan menandakan adanya koloni klanceng (Kalimantan: kelulut), lebah madu tanpa sengat (stingless bee) dalam radius 100-200 meter dari pohon durian itu.

Menurut informasi yang kami terima, spesies lebah madu Indonesia, baik untuk jenis Apis yang berpenyengat maupun jenis Trigona yang tidak berpenyengat, mengalami penurunan secara kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa faktor yang menjadi pemicunya, antara lain: karhutla (kebakaran hutan dan lahan), deforestasi, alih fungsi (konversi) lahan pertanian dan kehutanan menjadi lahan non pertanian (pemukiman dan kawasan industri), pemakaian pestisida ‘non organik’ yang berlebihan, tata ruang wilayah yang berubah (kalah dengan ‘tata uang’ wilayah), budaya pertanian organik dan green economy yang terabaikan, pembangunan infra struktur yang kurang memperhatikan daya dukung lingkungan, pemanasan global, serta kelalaian kolektif anak bangsa dalam menjaga, merawat dan peduli terhadap lingkungan hidup.

Dilihat dari sisi kelembagaan, kita harus mau mengakui perhatian dari institusi negara belum optimal, masih terbatasnya program dan alokasi anggaran dari pemerintah untuk pengembangan perlebahan nasional. Disisi lain partisipasi aktif dari BUMN bidang pertanian dan kehutanan (PTPN, Perhutani, Pertani, Sang Hyang Shri, dll) terjadi paradoks. Dimana sebagian besar BUMN-2 itu masih mengalami kerugian.

Permasalahan lain terkait SDA bidang pertanian/kehutanan adalah belum sinerginya program antar departemen, dan belum maksimalnya ‘linkage program’ antara kementrian terkait dengan BUMN bidang pertanian/kehutanan; petani dan pekebun; pembolang madu hutan; peternak dan pembudidaya lebah madu.

Sebenarnya budidaya lebah madu di Indonesia sudah dipelopori oleh Apiari Pramuka sejak tahun 1980-an. Membentang dari Cibubur di Jawa Barat ke arah timur di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Bali. Jejak digital/tapak sejarah ‘budaya dan budidaya lebah madu’ oleh Apiari Pramuka masih bisa kita lihat di beberapa daerah hingga sekarang. Meski terlihat kurang berkembang, terutama pasca era Reformasi 1998 hingga sekarang. Tapi setidaknya telah mampu membuat monumen amal jariyah menumbuhkan peternak-peternak lebah madu Apis mellifera di sekitar Apiari Pramuka berada.

Sebagai bangsa kita lebih sering melakukan bongkar pasang program pembangunan. Program lama dibongkar, lalu diganti dengan program baru yang belum tentu jelas hasilnya, ketimbang mengembangkan program yang sudah jelas baik hasilnya meski membutuhkan penyempurnaan. Semua yang berbau Orde Lama dan Orde Baru dibongkar total tanpa kecuali, meskipun program itu baik, bermanfaat dan relatif nir madharat apabila diteruskembangkan secara berkesinambungan, konsisten dan istiqomah.

Trisakti (Berkepribadian dalam budaya, berdikari dalam ekonomi dan berdaulat dalam politik) ala Bung Karno di era Orla dibuang. Trilogi Pembangunan (Stabilitas politik yang dinamis, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi) ala Pak Harto di era Orba diabaikan. Kalo perlu bangunan2 publik diganti warna dan disesuaikan warna bendera partai pemenang pemilu atau warna baju kesukaan penguasa. Sebuah laku sosial politik ekonomi yang menurut pendapat kami telah terpapar jumud millenial. Masuk perangkap civilization gap (kesenjangan peradaban) atau cultural lag (gegar budaya yang kurang berkeadaban).

Namun kami masih optimis di era reformasi dan pandemi Covid-19 saat ini. Setidaknya dalam 2 tahun terakhir mulai muncul sebuah kesadaran baru di beberapa kalangan pemerintah, terkait arti pentingnya lebah sebagai penyerbuk biotik bagi upaya peningkatan produktivitas pertanian (khususnya produk hortikultura), perkebunan (kopi, coklat, karet, kelapa, dll), juga kehutanan (perlindungan pohon sialang, diversifikasi hasil hutan non kayu, dll) di tingkat nasional.

Beberapa kali kami mengikuti seminar, lokakarya, diskusi webinar terkait hal itu, yang diadakan oleh berbagai unsur stakeholder terkait. Ada kegiatan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, kementrian, organisasi profesi (pakar ahli) berbagai disiplin ilmu, maupun organisasi perlebahan nasional (ILMI, API).

Madu dan Lebah Madu

Tingkat konsumsi madu kita baru sekitar 10-20 gram per kapita per tahun. Setara dengan 1-2 sendok makan per orang setiap tahun. Tentu masih kalah jauh jika dibandingkan tingkat konsumsi saudara- saudara kita di negeri tetangga ASEAN, apalagi Australia dan Selandia baru.

Dengan tingkat konsumsi madu per kapita yang masih sedikit saja, Indonesia musti mengimpor madu sebanyak 5-10 ribu ton per tahun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan industri makanan minuman. Apalagi jika tingkat konsumsi madu kita meningkat, sementara produktivitas madu nasional masih belum maksimal.

Sekedar informasi, Vietnam yang hanya memiliki perkebunan karet seluas 680 ribu hektar saat ini mampu menjadi produsen ‘madu karet’ terbesar di dunia, hasil dari budidaya lebah Apis mellifera di tengah perkebunan karetnya. Rata-rata produktivitas getah karet per pohon per hektar juga lebih banyak dari tanaman karet milik PTPN kita.

Lahan karet Indonesia seluas 3,6 juta hektar (Data Dirjen Perkebunan, 2018), namun belum mampu menghasilkan ‘madu karet’ sekedar untuk menambal defisit madu nasional (impor madu). Fakta ini kami yakini akan mengagetkan banyak pihak yang belum memahami arti pentingnya lebah dalam meningkatkan produktivitas hasil perkebunan dan pertanian. Korporatisasi budidaya lebah madu pada lahan-lahan milik negara sangat bagus sebagai usaha non utama/sampingan PTPN dan Perhutani untuk mendapatkan keuntungan (profit) sekaligus manfaat (benefit).

Menurut penuturan beberapa peternak lebah madu Apis mellifera yang kami temui di kabupaten Batang Jawa Tengah, untuk menempatkan stup koloni lebah Apis mellifera di area PTPN-IX pada saat tanaman karet berbunga, mereka musti membayar Rp 25-30 ribu per stup/box. Bukankah lebah madu yang ditempatkan di area perkebunan justru memberikan profit dan benefit bagi penyerbukan tanaman karet yang ada.

Sudah saatnya kita bahu membahu, bersinergi, gotong royong membangun ketahanan pangan nasional, khususnya madu, dengan memaksimalkan anugerah SDA yang telah diamanatkan Tuhan kepada bangsa Indonesia. SDA yang subur dan melimpah tidak semestinya menjadikan kita kufur nikmat dan lengah untuk lebih produktif mengembangkannya. Menjaga, merawat, memanfaatkan dan mengembangkan pertanian/perkebunan secara berkelanjutan (green economy) adalah cara terbaik kita mensyukuri nikmat-Nya. Kita musti menghindari perilaku negatif yang mengabaikan kelangsungan hidup habitat lebah, seperti menebang tanaman/vegetasi penghasil nektar-pollen-resin sebagai pakan lebah. Apalagi sampai merusak lingkungan hidup di sekitar tempat tinggal kita.

Aksi Nyata WBD

Ada banyak aksi nyata yang bisa kita lakukan dalam rangka memperingati Hari Lebah Sedunia. Apalagi tanggal 20 Mei bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, yang kita peringati setiap tahun.

Beberapa aksi nyata yang bisa kita lakukan diantaranya : menyebarkan informasi yang benar, baik dan manfaat tentang lebah ke berbagai media sosial; mengunjungi dan membeli madu ke peternak lebah; menanam aneka jenis tanaman (buah, sayuran, apotik hidup, bunga, dll) di halaman rumah atau di dalam planters bag/polibag/pot; memelihara lebah madu (khususnya klanceng/stingless bee) 1-5 stup di teras/halaman rumah; menempatkan beberapa stup/box koloni lebah madu di taman/hutan kota; mengembangkan ekonomi kreatif (souvenir, kaos, dll) bertema lebah; memulai usaha sampingan beternak lebah madu; serta berbagai kegiatan lain yang positif dan menggugah kesadaran kita akan arti pentingnya lebah bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta.

Jika saja ada sejuta koloni lebah klanceng yang dipelihara di teras dan halaman rumah di 25 provinsi se Indonesia. Dan terdapat sejuta koloni Apis mellifera dan Apis cerana setiap provinsi yang dibudidayakan oleh peternak, PTPN dan berbagai kalangan. Juga terdapat ratusan ribu koloni Apis dorsata yang terjaga di berbagai kawasan hutan milik Perhutani/KPH. Maka kemandirian pangan bahkan kedaulatan pangan nasional akan terwujud secara nyata.

Sebagai insan Pancasila yang beragama, bukankah sejak abad ke-6 Tuhan sudah berfirman dalam kitab sucinya:
“Dan Tuhanmu telah berfirman (kepada lebah): buatlah sarang di bukit-bukit, di pepohonan dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”
“Kemudian makanlah dari setiap macam (nektar) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam- macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang yang berfikir”
(Qs. An-Nahl/Lebah : 68-69). (*)

Weleri, 21 Mei 2021

*). Pembudidaya Klanceng, Founder HIBTAKI, Ketua Umum ASEIBSSINDO 2012-2018, Waket Kadin Jateng bidang Agrobisnis 2005-2010, Alumni Magister Agribisnis Undip.

-https://jateng.tribunnews.com/2021/05/26/kebangkitan-lebah-madu-nasional?page=all.
Penulis: rustam aji | Editor: rustam aji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *