HPP Gula Dinilai Abaikan Biaya Petani

Petani tebu di Kendal, Jawa Tengah, menyatakan menolak penetapan harga patokan petani gula kristal putih sebesar Rp 7.000 per kilogram. Penetapan harga patokan petani itu mengabaikan jerih payah petani tebu mendukung program swasembada mengingat harga itu meniadakan biaya tenaga kerja tanam tebu.

Petani tebu di Kendal, Dulrochim, Minggu (8/5), mengatakan, belajar dari hasil rendemen tertinggi hanya 6,5 persen pada 2010 tentunya sulit bagi petani mencapai rendemen 8 persen pada musim giling 2011. ”Ketika musim giling 2010, rendemen tertinggi di Jawa Tengah diperoleh dari tebu petani di Kendal, yakni dengan rendemen 7,5 persen,” ujarnya.

Dulrochim mengatakan, tanam tebu adalah masa tanam paling panjang di antara tanaman komoditas lainnya. Biaya tanam tebu sampai panen kini sebesar Rp 15 juta-Rp 20 juta per hektar. Dengan penetapan harga patokan petani (HPP) hanya Rp 7.000 per kilogram, sama artinya biaya tenaga kerja yang besarannya rata-rata Rp 4,5 juta per hektar jadi tanggungan penuh petani.

Biaya itu tidak diakomodasi dalam komponen HPP baru. Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kendal Khafid Sirotudin menyatakan, penetapan HPP yang mengabaikan hak-hak petani itu akan terus diperjuangkan.

Salah satunya melalui jalur negosiasi petani tebu dengan pihak pabrik gula. Salah satu usul petani tebu ke pabrik gula (PG) adalah sebaiknya penetapan rendemen tebu mengacu pada akumulasi besaran berjenjang, yakni rendemen ditetapkan menjadi 7,5 persen untuk rendemen tebu antara 7,0 persen dan 7,5 persen, sedangkan untuk tebu dengan rendemen 7,6 persen ditetapkan 7,6 persen. Khafid Sirotudin menilai, penetapan pemerintah atas HPP sebesar Rp 7.000 per kilogram, dengan asumsi rendemen tebu mencapai 8 persen itu tidak realistis.

Cuaca yang masih didominasi hujan ini jadi kendala petani memperoleh rendemen tinggi. Pihaknya sudah mendapat laporan, pabrik yang memasuki musim giling di PG Jatibarang, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, ternyata petani sudah banyak yang mengeluh.

Pasalnya, panen tebu di saat hujan masih tinggi. Hal itu menyebabkan rendemen tebu mereka anjlok, hanya 4,8 persen. Dengan cuaca yang masih basah, target pencapaian rendemen sebesar 8,0 persen kemungkinan tidak tercapai. (WHO)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *