HARGA SEBOTOL MADU

#17-BelajarBudidayaKlanceng

Khafid Sirotudin

Ketika pertama kali PT Aqua Golden Missisipi mau memproduksi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Bali, awal 90-an, tidak ada satu lembaga keuangan/perbankan manapun mau membiayai. Alasan yang umum dipakai yaitu harga bensin/solar waktu itu Rp 500-700 per liter. Siapa yg mau beli air minum Rp 500 sebotol (600 ml). Tetapi 5 tahun kemudian Aqua menjadi brand-image bahkan brand loyalty publik. Sampai-sampai kalau kita mau beli air minum saat ini di semua tempat bilangnya “mau beli aqua” padahal merknya bukan aqua. Termasuk di lingkungan Ormas keagamaan dan berbagai kalangan masyarakat akhirnya marak membuat AMDK dengan berbagai merk, setelah Muhammadiyah memenangkan Judicial Review atas UU Sumberdaya Air. Orang membeli suatu produk (barang dan jasa) bukan hanya karena harganya murah atau lebih murah. Tetapi lebih karena preferensi personal/publik.

Ayam goreng (fried chicken) di KFC, McD, CFC dan lainnya bisa mendunia meski harganya relatif mahal jika dibandingkan Ayam Geprek, Ayam Penyet, Ayam Bakar dan Local Fried Chicken. Bahkan merk-merk asing itu mengambil ‘market share’ (pangsa pasar) paling besar bila dibandingkan ayam goreng produk lokal yang promosinya terkadang memakai ‘dalil agama’ sekalipun.

Mengapa bisa terjadi?

Karena Sunatullah memiliki beberapa sifat utama, yaitu : absolutely (mutlak), exactly (pasti), objective (adil, proporsional) dan universal (rahmat al-alamin). Sunatullah (hukum alam) pasti berjalan sesuai garis edar dalam segala lini kehidupan. Termasuk dalam bidang muamalah, budidaya, bisnis, perdagangan dan ekonomi. Ketika seorang ustadz terkenal tingkat nasional dan penghafal kitab suci sedang menawarkan produknya sendiri ke publik, kami memilih diam dan tidak merespon.

Ada teman pegiat masjid dan aktivis tanya ke kami : ‘Mengapa tidak merespon?’

Kami menjawab : “Kita musti melihat dulu anecdotal record yang pernah dilakukan seseorang dalam bisnis. Apakah sebelumnya mereka pernah melakukan penipuan dalam bisnis. Berapa lama mereka menekuni sebuah perniagaan dalam satu bidang bisnis”.

Teman : “Bukannya itu dulu sebelum menjadi ustadz yang terkenal”.

Kami menjawab : “Muhammad saw mendapat brand loyalty Al-amiin (dapat dipercaya) jauh sebelum diangkat Allah Swt. menjadi Nabi dan Rasulullah”.

 

Dan terbukti 2 tahun kemudian ustadz tersebut bermasalah dengan bisnisnya. Padahal milyaran rupiah dana umat sudah tertelan bisnis itu. Termasuk teman kami yang ‘ikut merugi’ karena mengikuti bisnis itu. Kami sering menyebutnya sebagai “biaya bodoh” dalam berbisnis dan berinvestasi.

 

Kita tentu masih ingat beberapa tahun lalu, betapa banyak dana masyarakat hampir Rp 2 Trilyun musnah ditilep PT. ABU Tour, First Travel, dan Perusahaan lain dalam bisnis Umroh dan Haji Plus. Begitu juga dengan bisnis berlabel “MLM Syariah”, dimana para follower (agen, partner, mitra, anggota) tidak mau dilabeli publik sebagai MLM. Padahal kita semua tahu bahwa dalam ilmu pemasaran hanya ada 2 macam: Direct Selling (penjualan langsung) dan Indirect Selling (penjualan tidak langsung). Direct selling ada 2 model, yaitu Single Level Marketing (SLM) dan MLM (Multi Level Marketing). Ternyata para pegiat bisnis MLM (yang mulai redup pamornya di Malaysia dan Indonesia) lebih yakin dan bangga dengan sebutan PLBS : Penjualan Langsung Berbasis Syariah.

 

Saat ini lagi marak PLBS dengan aneka produk (barang dan jasa) yang–maaf– ‘dhaif’ sanadnya. Narasi pembenar yang biasanya mereka hadirkan berupa Sertifikat Halal MUI, Fatwa DSN, Legalitas Perusahaan (PT/CV/Koperasi), Tokoh Agama sebagai Brand Ambassador, aneka testimoni manfaat produk secara personal, serta ‘flexing’ bonus, hadiah rumah mewah, mobil premium, barang berharga dan aneka material kebendaan duniawi nan manusiawi. Bahkan anak-anak yang belum mukallaf (dewasa) bisa menjadi mitra/agen/partner dari bisnis tersebut. Tak ketinggalan pula bisnis investasi “abal-abal” berbendera PT/Koperasi yang memanfaatkan ikon budidaya klanceng sebagai ‘prime mover’ (pengungkit) publik untuk mengikuti. Ditambah tagline dan narasi yang membius : “investasi pasti untung, tidak mungkin rugi, keuntungan besar 20% per 1-3 bulan, dan sebagainya.” Sudah ada 3 pelaku diringkus aparat di Kediri Jatim dan 2 daerah lain di Jawa Barat dan Sumatra. Sangat mungkin sebentar lagi ada oknum dari 2 PT yang sekarang masih aktif di Jawa Tengah. Korbannya sudah ribuan orang dan puluhan milyar rupiah menguap tanpa kembali.

 

Bagi pembudidaya klanceng sejati, membaca iklan ajakan investasi budidaya klanceng

Tetragonula laeviceps (levi) dengan harga 1-1,5 juta per stup dengan hasil madu 1 kg atau keuntungan 20-30% per 3 bulan per 1 stup, jelas sebuah kemustahilan. Dalam bahasa sesama teman pembudidaya “klanceng levi serasa itama”. Atau meminjam istilah pelawak almarhum Asmuni Srimulat hil yang mustahal. Ada juga oknum yang menghipnotis dengan label “Komunitas Anti Riba” tapi dalam prakteknya banyak menabrak fatsun nilai dan etika bisnis/ekonomi yang Islami.

 

Di dalam Sistem Ekonomi (bisnis) Islam yang Berkeadaban, sebuah perniagaan haruslah memenuhi unsur _kejujuran dan kebenaran (sidiq), terbuka (tabligh), halal, bermanfaat (berfaedah), adil (obyektif), bertanggungjawab (amanah), tidak ada unsur gharar (penipuan) dan maisir (perjudian), serta memenuhi norma positif yang telah diatur oleh lembaga otoritatif._

 

Pada saat diminta menjadi nara sumber oleh Dinas Kesehatan Kendal bersama BPOM Semarang, terkait produk madu yang berkualitas, kami menyampaikan secara terbuka bahwa “Madu SOS (Sirupan, Oplosan dan Sintetis) boleh dan sah diperdagangkan asalkan memenuhi beberapa persyaratan yaitu: jujur, terbuka (ditulis dalam label kemasan), dan tidak melanggar Standar Nasional Produk (SNI) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah/BPOM. Jangan memberi label pada kemasan sebagai Madu Murni/Asli, tetapi tulislah dengan Sirup rasa Madu, Madu Oplosan, Madu Sintetis, Madu Sirup, dan sebagainya sesuai kandungan produk”.

 

Sebab produk pangan yang halalan thayyiban bukan sekedar soal kandungan, cara produksi dan pengolahan yang baik, boleh menambah bahan perasa/pengawet/pewarna makanan sesuai ketentuan pemerintah/BPOM sebagai lembaga otoritatif, namun juga cara memperolehnya apakah sudah sesuai syariat dan norma positif yang berlaku.

 

Dalam Standar Produksi Makanan Minuman (mamin) Internasional, khususnya produk makanan minuman (mamin) segar dan olahan yang bersumber dari alam (hasil pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan) berlaku standar GAP (Good Agriculture Practices) yang sangat ketat, terperinci dan tercatat ‘sanad nasab, sanad ilmu dan sanad amal’ atas setiap produk pangan beserta turunannya. Mulai dari penyiapan lahan, benih/bibit, saprotan dan pestisida, teknologi panen dan pasca panen, bahan baku pengolahan, SDM, manajemen industri pangan, packaging dan labelisasi, supply and chain sampai tersaji di meja makan konsumen.

 

Sudah saatnya Muhammadiyah, NU dan berbagai lembaga peradaban milik umat membuat Pusat Studi Pangan Halalan Thayyiban di berbagai PTM/PTNU, juga pemerintah melalui PTN/PTAIN yang dimiliki. Agar umat dan masyarakat terlindungi dari _syetan-syetan_ bisnis yang tidak berkeadaban. Harga produk pangan (mahal, wajar, murah) hanyalah satu bagian dari preferensi publik untuk membeli sebuah produk. Sebab produk madu klanceng yang murni atau asli, berkualitas, berkhasiat dan bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh pasti akan disukai banyak orang. Wallahu’alam.

 

 

Tegalmulyo, 22 Maret 2022

*) Founder HIBTAKI, Pembudidaya Klanceng, Pemerhati Pangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *