Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung dan demokratis di Indonesia, pertama kali diadakan tahun 2004, tepatnya tanggal 5 Juli 2004. Sebagaimana termaktub di dalam konstitusi UUD 1945 hasil amandemen untuk ketiga kalinya pada tahun 2001. Pasal 6A ayat (1) menyebutkan : “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Pilpres pertama kali berlandaskan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyebutkan bahwa “calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR”.
Kemudian, pasangan capres-cawapres dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara melebihi 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 66 Ayat (2) UU nomor 23 tahun 2003. Dan apabila tidak ada paslon terpilih sesuai dengan ketentuan tersebut, maka diadakan putaran kedua, yakni pasangan calon yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung melalui pilpres. Sebagaimana kita tahu penyelenggaran Pilpres 2004 didahului dengan pemilihan umum legislatif (Pileg) untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota yang digelar tanggal 5 April 2004.
Sebagaimana jadwal waktu tahapan Pilpres 2004 yang telah ditetapkan oleh KPU, kampanye Pilpres Tahap I dilakukan mulai tanggal 14 Mei sampai 18 Juni 2004. Sedangkan Pilpres Putaran II dilaksanakan pada 20 September 2004. Pada pesta demokrasi Pilpres pertama di Indonesia tersebut, kebetulan kami ditunjuk menjadi Koordinator Tim Kampanye Provinsi Jawa Tengah dari pasangan Capres Amien Rais dan Cawapres Siswono Yudho Husodo.
Sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan, sekaligus memberikan banyak ilmu, pelajaran dan hikmah. Saya menjadi terlatih untuk membuat jadwal kampanye, berkoordinasi dengan aparat keamanan dan penyelenggara pemilu, menyampaikan press release ke berbagai media, membuat issue dan kontra issue, memahami visi dan misi paslon yang didukung, menyiapkan akomodasi capres-cawapres dan juru kampanye, memenuhi kebutuhan standar alat transportasi dan protokoler pengamanan, menentukan lokasi dan peralatan kampanye di lapangan, strategi dan teknik mendatangkan massa agar datang maksimal ke lokasi kampanye terbuka/tertutup, memastikan persiapan kampanye di setiap lokasi tertangani dengan baik, membuat agenda dan mengatur jadual kampanye yang dilakukan secara berpasangan atau terpisah capres dengan cawapres, mempelajari adat istiadat dan budaya setempat, serta memahami kebiasaan dan karakter capres dan cawapres.
Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan terbatasnya waktu kampanye yang telah diatur dan dijadwalkan KPU, tentu setiap tim kampanye Capres-Cawapres dituntut seoptimal mungkin dapat melakukan kampanye secara efektif dan efisien. Salah satu moda transportasi yang hampir setiap hari digunakan adalah pesawat terbang (umum maupun private) dan helikopter. Kami menjadi mengerti prosedur dan kelengkapan yang dibutuhkan apabila memakai moda transportasi udara private/carter maupun moda transportasi darat yang wajib disiapkan. Sebab harus melibatkan otoritas bandara maupun otoritas lain yang memberikan ijin rute penerbangan, beserta otoritas pengamanan capres-cawapres. Beruntung tahun 2004 saya sudah memiliki handphone sebagai alat komunikasi, meski pada waktu itu belum dilengkapi dengan berbagai fitur, utamanya GPS (Global Positioning System).
Helipad Seadanya
Berdasarkan jadwal kampanye, tanggal 29 Mei 2004, pasangan Amin-Siswono mengadakan kampanye di beberapa daerah se Jawa Tengah. Dan kota Weleri Kendal menjadi lokasi kedua kampanye terbuka, setelah lokasi pertama di Wonosobo. Menurut informasi Tim Kampanye Nasional (TKN), Amin Rais dan Siswono akan menggunakan 2 helikopter untuk menghadiri kampanye di lapangan Sambongsari Weleri. Kami beserta panitia lokal harus menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, termasuk helipad beserta penunjuk arah angin. Pada awalnya kami menghubungi pengelola Gudang milik PR Gudang Garam di Jenarsari-Gemuh agar berkenan meminjami helipad, tapi ditolak. Apabila helikopter mendarat di lapangan tempat kampanye, kami khawatir dengan keamanan massa yang diprediksi akan membludak. Mengingat cawapres Siswono Yuhdo Husodo adalah putra dr. Soewondo, yang pernah hidup dan tinggal cukup lama di Kendal, sehingga namanya diabadikan menjadi nama RSUD milik Pemkab Kendal.
Sebenarnya pada tahun 1999, Amien Rais pernah mendarat dengan helikopter ketika kampanye Pemilu 1999. Yaitu sebidang lahan kosong dekat lapangan Sambongsari yang luas. Namun pada tahun 2004 sudah berdiri bangunan STM/SMK Muhammadiyah 3 Weleri. Akhirnya pilihan kami jatuh pada lahan kosong “lemah abang” (tanah merah) di selatan masjid An-Nur Weleri, sekitar 1 kilometer dari lokasi kampanye. Kendalanya hanya satu, akses jalan masuk kurang lebar atau sempit (4-5 meter) dan belum beraspal. Semalaman panitia bekerja menyiapkan beberapa perlengkapan, berupa penunjuk arah angin yang terbuat dari kain berwarna terang dan dijahit membentuk lingkaran yang mengecil di ujung sebagaimana kita lihat di bandara. Juga membuat dua helipad berbentuk kotak di pinggir areal pesawahan, yang diberi tanda silang (cross) putih dari serbuk kapur, dan disesuaikan jaraknya dengan ukuran baling-baling helikopter yang besok akan mendarat.
Beruntung malam itu kami mendapat bantuan peralatan GPS Garmin dari Kodim Kendal untuk menentukan titik ordinat pendaratan sebagaimana diminta oleh TKN. Sehingga melalui SMS (belum ada aplikasi GPS) kami bisa menyampaikan titik ordinat yang dibutuhkan. Alhasil, sekitar jam 10.00 pagi dua helikopter dapat mendarat dengan selamat di lokasi. Dari lokasi pendaratan menuju lokasi kampanye, kami harus menyiapkan beberapa mobil yang akan dinaiki capres dan cawapres, mobil cadangan, mobil patwal polisi, termasuk sebuah mobil ambulance beserta tenaga medis dan paramedis sesuai standar protokoler. Massa yang datang membludak hingga pinggir jalan di luar lapangan. Perkiraan kami mencapai puluhan ribu orang yang datang. Tidak ada massa sebanyak itu hadir sepanjang kampanye pilpres 2004 di lokasi yang sama maupun lokasi lain di kabupaten Kendal.
Keesokan harinya, saya kedatangan mas Markum pemilik tanaman padi yang bersebelahan dengan lokasi helipad. Beliau menyampaikan niatnya untuk silaturahmi, sekaligus mengeluhkan rusaknya sebagian tanaman padi yang sedang “mratak” (berbunga, berbuah muda) miliknya.
“Mas Khafid ngapunten, tanduran pari kulo sik rusak nika, nyuwun gantine teng pundi kalih sinten (Maaf, tanaman padi milik saya yang rusak itu, minta ganti ruginya kemana dan kepada siapa)” ucapnya polos.
“Ya Allah Gusti, nyuwun pangapunten mas menawi helikoptere ndadoske rusake tanduran pari (mohon maaf jika helikopternya membuat rusak tanaman padi)”, kata saya.
“Nyuwun sewu, menawi dipun etung panenan kinten-kinten pinten kulo kedah nggantos (Mohon maaf, kalau dihitung saat panen, kira-kira berapa saya harus mengganti”, tanya saya.
“Nggih kinten-kinten wolongatus ewu pantun ingkang rusak (Ya kira-kira Rp 800 ribu untuk padi yang rusak)” jawab mas Markum dengan wajah memelas.
“Nggihpun, kulo sik nggantos mas. Nyuwun ikhlase penjenengan, nyuwun pangapunten lan maturnuwun (Ya sudah, saya yang mengganti. Minta keikhlasannya, kami minta maaf dan terimakasih”, kata saya sambil menyerahkan uang ganti rugi tanaman padi.
Ternyata ada tugas khusus lain sebagai tim kampanye Pilpres. Yaitu mengatasi ekses negatif yang timbul dari sebuah kegiatan kampanye yang dilaksanakan di suatu lokasi. Jangan sampai kampanye yang diharapkan menarik simpati masyarakat, justru membuat tidak simpati, bahkan antipati dari masyarakat sebagai akibat ekses negatif yang kadangkala dilupakan oleh tim kampanye.
Sejarah Pilpres
Pilpres tahun 2004, diikuti oleh 5 pasangan, yaitu : (1) Wiranto – Shalahudin Wahid, (2) Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi, (3) M. Amien Rais – Siswono Yudho Husodo, (4) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK), (5) Hamzah Haz – Agum Gumelar. Pada putaran pertama, yang dilaksanakan pada 5 Juli 2004, pasangan SBY-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi menjadi pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Kemudian pada putaran kedua pilpres yang diadakan pada tanggal 20 September 2004, pasangan SBY-JK memenangi kontestasi pilpres dengan meraih 69.266.350 suara (60,62%). Sedangkan paslon Megawati-Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 suara (39,38%).
Pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2009, dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2009. Diikuti 3 pasangan, yaitu (1) Megawati-Prabowo Subianto, (2) SBY-Boediono, dan (3) Jusuf Kalla-Wiranto. Pilpres 2009 dimenangkan pasangan SBY-Boediono dengan satu putaran, dengan jumlah suara yang diraih sebanyak 60,80 persen. Mengalahkan pasangan Megawati
di urutan kedua sebesar 26,79 persen, dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto sebanyak 12,41%.
Pemilu 2014 dilaksanakan dua kali, yaitu pada tanggal 9 April 2014 untuk Pemilihan Umum Anggota Legislatif/Pileg (DPD, DPR, DPRD) dan Pemilu Presiden-Cawapres/Pilpres yang dilasanakan pada tanggal 9 Juli 2014. Pilpres tahun 2014, hanya diikuti oleh 2 pasangan. Yaitu (1) Prabowo-Hatta Radjasa yang diusung partai Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP dan PBB. Dan (2) Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) yang diusung PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura. Hasil Pilpres dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK dengan meraih 53,15% atau 70.997.833 suara. Mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta yang mendapatkan 62.576.444 suara atau 46,85%.
Kontestasi demokrasi terpanas terjadi pada pemilu 2019. Pilpres 2019 menjadi bagian dari Pemilu Serentak pertama di Indonesia dalam sejarah. Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, pemilu 2019 juga memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota. Setiap warga negara yang memiliki hak pilih menerima 5 kartu suara sekaligus. Sebuah pemilu yang rumit dan belum pernah dilakukan oleh negara demokrasi manapun di dunia. Pada Pilpres 2019 terdapat 2 pasangan, yaitu (1) Jokowi-Ma’ruf Amin, yang diusung dan didukung PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP dan Hanura. Dan (2) Prabowo-Sandiaga S. Uno yang diusung partai Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat.
Fenomena adanya buzzer politik, black campaign, caracter assasination, konten dan meme dhaif atau hoax, ungkapan nir adab cebong-kampret-kadrun, diskursus politik identitas muncul dan mengemuka di masyarakat, seiring perkembangan teknologi informasi adanya berbagai aplikasi digital berupa media sosial. Seakan rakyat terbelah dua dan saling berhadap-hadapan, antara pendukung masing-masing capres-cawapres. Pilpres 2019 dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak pengajuan sengketa pemilu yang dilakukan tim kuasa hukum pasangan Prabowo-Sandi.
Yang memprihatinkan dan sangat patut disesali dari Pemilu 2019 lalu yaitu adanya fakta ratusan petugas penyelenggara pemilu ad-hock (PPS/KPPS) yang meninggal dunia karena kelelahan menjalankan tugas. Mereka yang meninggal dunia sangat pantas untuk disebut sebagai pahlawan demokrasi. Betapa tidak, dengan honor yang tak seberapa petugas KPPS dan PPS bekerja non-stop selama 2 hari 2 malam. Dimulai dengan penyiapan TPS (Tempat Pemungutan Suara), penerimaan dan pengamanan kartu dan kotak suara, melaksanakan pemungutan suara dari pagi hingga siang, dan tugas yang terberat adalah melakukan penghitungan suara hingga selesai dan tidak boleh berhenti. Sebagaimana tuntutan beberapa Organisasi Masyarakat Sipil yang mengkhawatirkan terjadinya kecurangan dalam penghitungan suara di TPS.
Kita bisa bayangkan, apabila di setiap TPS terdapat 300 orang sesuai DPT (Daftar Pemilih Tetap). Kemudian setiap pemilih mendapatkan 5 kartu suara Pileg dan Pilpres, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghitung keseluruhan kartu suara di setiap TPS. Apalagi jika terjadi perbedaan selisih suara. Petugas KPPS harus melakukan penghitungan ulang disaksikan para saksi, baik saksi pileg dari parpol maupun saksi pilpres. Jika 1 menit KPPS bisa membaca 2 kartu suara, maka dibutuhkan 150 menit (2,5 jam) untuk satu jenis kartu suara. Belum termasuk mengisi berbagai formulir hasil penghitungan suara yang harus ditandatangani oleh KPPS dan para saksi. Secara teknis setiap jenis kartu suara membutuhkan setidaknya 3 jam untuk penghitungan. Jika terdapat 5 macam kartu suara (Pileg dan Pilpres), setidaknya dibutuhkan 15 jam untuk waktu penghitungan. Bila penghitungan suara dimulai setelah waktu pemungutan suara ditutup pukul 13.00, maka pada pukul 04.00 keesokan harinya baru selesai.
Saya menyaksikan bagaimana petugas KPPS di TPS dekat rumah baru bisa menyelesaikan penghitungan suara pada saat adzan Shubuh berkumandang. Beruntungnya, semua petugas KPPS berusia muda dan sehat. Coba kalau petugas KPPS berusia tua dan mengidap dua atau lebih penyakit fisik dan mental sekaligus (komorbid). Pastilah akan terjadi banyak korban wafat akibat adanya tekanan dan beban kerja yang kurang manusiawi. Memang tidak kita pungkiri, kemungkinan adanya peluang melakukan kecurangan di TPS, sebagaimana pemilu jaman Orba dulu. Lantas apa gunanya saksi dari pasangan capres-cawapres dan parpol yang mengikuti kontestasi Pilpres dan Pileg yang katanya ada di setiap TPS serta dibiayai tinggi. Kami dengan warga sekampung lebih memilih membantu memberi asupan makanan dan minuman suplemen penghangat badan kepada para pahlawan demokrasi di 3 TPS yang ada di kampung kami.
Akhirnya KPU menetapkan Pilpres 2019 dimenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dengan perolehan suara sebanyak 85.607.362 atau 55,5 persen. Mengalahkan pasangan Prabowo Subiyanto-Sandiaga Uno yang hanya mendapatkan 68.650.239 suara atau 44,5 persen. Kedua orang yang kalah sebagai Capres-Cawapres dalam Pilpres 2019, yaitu Prabowo Subiyanto dan Sandiaga S. Uno, saat ini diakomodir menjadi menteri dalam Kabinet Indonesia Maju. Sementara hingga kini, di beberapa media sosial kadangkala masih kita jumpai “residu demokrasi” berupa narasi cebong-kampret-kadrun dan aneka meme dari pendukung capres 2019 yang belum move-on dan baperan.
Dengan hasil Pilpres tahun 2019 lalu, maka sejak kemerdekaan Republik Indonesia, kita telah memiliki 7 presiden. Pertama, Soekarno menjabat di usia 44 tahun, sejak 18 Agustus 1945 hingga 22 Februari 1967. Kedua, Soeharto pada usia 45 tahun, menjabat sejak 22 Februari 1967 sampai 21 ei 1998. Ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ. Habibie) di usia 61 tahun, menjabat sejak 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999. Keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden pada usia 59 tahun, menjabat pada 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Kelima, Megawati Soekarnoputri, usia 54 tahun dan menjabat sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004 melalui Sidang Istimewa MPR. Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berusia 54 tahun saat menjadi Presiden, setelah memenangkan Pilpres pertama kali yang dipilih secara langsung oleh rakyat. SBY menjabat selama 2 periode, 20 Oktober 2004 hingga 20 Oktober 2014. Ketujuh, Joko Widodo yang saat ini masih menjabat Presiden periode kedua setelah memenangkan Pilpres 2014 dan 2019. Saat pertama menjabat Presiden (20 Oktober 2014), usia Jokowi 53 tahun 4 bulan.
Pilpres 2024
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 akan dilaksanakan berbarengan dengan pemilihan umum anggota legislatif (Pileg) DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dan Kota. Hari dan tanggal pemungutan suara sudah ditentukan, yaitu Rabu 14 Februari 2024. Sebagaimana diatur dalam PKPU nomor 3 tahun 2022, tentang tahapan pemilu. Sedangkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (biasa disebut Pilkada) serentak, akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Meliputi 548 daerah, dengan rincian 37 Provinsi (Pilgub), 415 Kabupaten (Pilbup) dan 93 Kota (Pilwakot).
Menurut kami, Pemilu 2024 merupakan pemilu serentak pertama yang memiliki tingkat derajat kerumitan tertinggi dari sisi teknis penyelenggaraan. Apalagi jika kita juga mau melihat dari sisi Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) yang harus mengadakan seleksi pergantian komisioner Bawaslu dan KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota yang akhir masa pengabdiannya beragam. Ditambah waktu seleksi yang berhimpitan dengan tahapan pemilu yang sedang dilaksanakan sesuai ketentuan, yaitu sejak 20 bulan sebelum hari pemungutan suara (14 Februari 2024). Untuk menjadi komisioner tetap sebagai Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu) di Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota dibutuhkan pengalaman “jam praktek” yang handal dari sisi integritas, ilmu kepemiluan, ketrampilan menyelesaikan masalah, kemandirian dan profesionalitas, serta usia minimal sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU maupun Peraturan Bawaslu. Untuk tingkat Kabupaten/Kota usia minimal 30 tahun, Provinsi 35 tahun dan Pusat 40 tahun. Sebuah batas usia minimal yang selaras dengan batas minimal Capres dan Cawapres sesuai konstitusi UUD 1945.
Masyarakat terhenyak kaget adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan dan menetapkan pengajuan Judicial Review (JR) yang diajukan beberapa kalangan terkait batas minimal seseorang untuk menjadi Capres dan Cawapres. Meskipun Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) telah menjatuhkan sanksi berat kepada Ketua MK yang memutus perkara JR tersebut, nampaknya sebagian komponen OMS (Organisasi Masyarakat Sipil), pakar Hukum Tata Negara dan komponen Mahasiswa yang merasa belum puas dan menilai adanya “drama demokrasi” berupa “politik hukum” adanya keterlibatan Ketua MK yang memiliki relasi keluarga dan konflik kepentingan dengan Presiden. Sehingga dengan keputusan tersebut menjadikan Gibran yag berusia kurang dari 40 tahun dapat lolos menjadi salah satu bacawapres pada Pilpres 2024 mendatang.
Sebagaimana kita saksikan bersama di berbagai pemberitaan media publik maupun laman resmi KPU RI, 3 pasangan bakal capres-cawapres telah mendaftarkan diri dan memenuhi syarat administratif dan kesehatan sesuai norma yang berlaku. Ketiga pasangan tersebut, yaitu Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar/Cak Imin, Ganjar Pranowo dengan Mahfud MD, serta Prabowo Subianto dengan Gibran. Masyarakat masih menunggu Penetapan dan Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, yang rencananya akan dilaksanakan KPU RI pada tanggal 13 dan 14 November 2024.
Masa “kampanye resmi” pemilu 2024 lebih singkat, yaitu tanggal 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Namun begitu kita bisa menyaksikan bacapres-cawapres telah melakukan berbagai kampanye “tidak resmi” berupa deklarasi, pertemuan dan konsolidasi timses dan tim kampanye di berbagai tingkat, pemasangan baliho dan aneka alat peraga kampanye, pembuatan posko pemenangan, kegiatan jalan santai bersama bacapres-cawapres, meme dan sticker di medsos, rekruitmen relawan, dan sebagainya.
Ada sebuah pernyataan menarik dari Eep Syaifullah Fatah, salah seorang analis politik dan juga Direktur Political Marketing Consulting dalam sebuah pertemuan konsolidasi PKS sebagai salah satu partai pengusung bacapres Anies Baswedan. Yaitu adanya “Amien Rais Syndrome” saat berbicara mengenai elektibilitas Anies Baswedan dan Cak Imin di forum tersebut. Tak sedikit masyarakat yang penasaran mengenai apa itu Amien Rais Syndrome (ARS). ARS merujuk terhadap fenomena elektoral Amien Rais pada Pilpres pertama tahun 2004. Seperti diketahui saat itu, sebagai tokoh gerakan reformasi 1998, sosok Amien Rais sangat populer di kalangan rakyat. Setiap kegiatan dan acara yang dihadiri Amien Rais selalu ramai dihadiri banyak orang. Namun popularitas yang diraih berbanding terbali dengan perolehan suara pada Pilpres 2004, yang hanya sebesar 14,66 persen dan menempati posisi keempat dari lima kandidat.
Saya bisa memahami dan merasakan apa yang disampaikan oleh Eep tersebut. Apalagi saya pernah terlibat sebagai Koordinator Tim Kampanye pasangan Amien-Siswono pada Pilpres 2004. Banyaknya warga yang datang saat kampanye tidak sama dan sebanding dengan jumlah suara yang diraih saat Pilpres dilaksanakan pada 5 Juli 2004. Saya menjadi tahu dan faham bahwa elektabilitas (tingkat “dipilih” atau keterpilihan) seorang kandidat itu sangat ditentukan oleh Akseptabilitas (tingkat “diterima” atau keterpenerimaan) oleh pemilih atau rakyat, ketimbang Popularitas (tingkat “dikenal” atau keterkenalan) dan “isi tas” (jumlah kekayaan dan aset yang dimiliki) seorang kandidat atau capres-cawapres.
Saya pernah melihat baliho dan rontek atau banner seorang caleg yang terpasang di dekat makam ketika berboncengan kendaraan bermotor dengan seorang teman. Dengan nada guyon, teman saya komentar : “Memangnya penghuni kuburan punya hak pilih pemilu 2024”. Sayapun menimpali teman saya : “Memang untuk sekedar populer di masyarakat, kadangkala seorang caleg atau timses capres-cawapres rela mengeluarkan biaya besar dan tindakan tidak masuk akal”. Lalu kami berdua tertawa renyah menyaksikan kenyataan yang kami lihat.
Sebagai pemilih berdaulat yang tidak melibatkan diri sebagai Caleg maupun Tim Kampanye pada Pilpres 2024, kami berharap pemilu serentak 2024 dapat berjalan dengan aman, lancar, LUBER-JURDIL dan berkeadaban. Masih ada cukup waktu tiga bulan pasangan Capres dan Cawapres untuk mengambil hati rakyat sebagai pemilik suara agar bisa “diterima” dan “dipilih”. Buatlah tim sukses dan tim kampanye yang unggul, bentuk guraklih (regu penggerak pemilih) di setiap TPS yang mempesona, serta jaringan caleg dan aktivis parpol pengusung yang handal.
Sebagai warga bangsa kami berharap Pilpres bisa berjalan dalam 2 putaran, siapapun nanti pasangan yang akan memenangkan kontestasi demokrasi. Namanya saja Pesta Demokrasi, harus dilaksanakan dengan jalan menggembirakan rakyat sebagai pemilik suara. Dengan dua putaran Pilpres, rakyat bisa mendapat “qodaran” dua kali. Setidaknya pelaku UMKM bisa mendapatkan rejeki dari berjualan berbagai makanan dan minuman bagi penyelenggara pemilu ad-hock (PPK//PPS/KPPS/Panwascam/PKD/PTPS), timses dan masyarakat yang hadir di TPS; para tukang sablon dan cetak MMT mendapatkan order baru; industri percetakan dan perusahaan kurir mendapat tambahan pesanan kartu suara dan jasa pengirimanserta; serta para saksi mendapatkan honor lagi. Mari “Berperan” aktif sebagai pemilih yang berdaulat pada Pemilu 2024, jangan “Baperan” apalagi sampai bermusuhan dengan sanak saudara dan tetangga. Oh ya jangan lupa, harus bergembira dan berkemajuan menyambut pesta demokrasi lima tahunan.
Wallahu’alam
Weleri, 12 November 2023
*) Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah