Dunia Digital dan Tantangan Pendidikan Kita

Khafid.id | Khafid Sirotudin – Sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya), perempuan, usianya baru 8 tahun, masih Sekolah Dasar,  asalnya sebuah daerah di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sejak beberapa hari lalu, Bunga opname di salah satu bangsal pada Rumah Sakit Jiwa Daerah milik pemerintah daerah Jawa Tengah.

Sekilas badannya terlihat sehat dan normal, tidak ada yang sakit. Apa gerangan sehingga dia harus mondok di rumah sakit?

Ternyata anak tersebut lagi sakit jiwanya. Dibutuhkan terapi kejiwaan dan psikologis yang serius, tuntas dan berkelanjutan. Konon beberapa waktu sebelumnya, Bunga menyerang orang lain dengan membawa pisau dan hendak menusuknya. Orang lain yang diserang adalah simbahnya.

Menurut informasi, anak tersebut terpapar ‘tayangan games negatif’ yang setiap hari ditonton dari HPnya..Anak sekecil itu musti opname dan mendapatkan penanganan dokter jiwa dan terapi psikolog. Kami awalnya tidak percaya, namun faktanya demikian.

Tujuan Pendidikan

Menurut UU Sisdiknas, tujuan pendidikan nasional adalah  mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ki Hajar Dewantoro, bapak pendidikan nasional, menjelaskan bahwa pendidikan merupakan ‘tuntutan hidup’ dalam kehidupan anak-anak. Artinya adalah menuntun semua kodrat pada kekuatan anak-anak tersebut sehingga anak-anak dapat mencapai ‘kebahagiaan dan keselamatan’ setinggi-tingginya.

Kalimat beliau yang mashur yakni ‘jadikan setiap orang guru, dan jadikan setiap tempat sekolah’. Sesanti beliau memiliki makna bahwa proses pendidikan (belajar-mengajar) seseorang tidak dibatasi oleh orang dan ruang. Kita bisa belajar dari siapapun dan di tempat manapun.

Agama mengajarkan kita: “carilah ilmu sejak dari ayunan (lahir/bayi) sampai buaian (menjelang ajal tiba)”. Maknanya adalah sebagai manusia, kita diminta untuk terus belajar selama nyawa dikandung badan (long life education/pendidikan seumur hidup).

Sejalan dengan apa yang disampaikan H. Horne, bahwa pendidikan merupakan proses yang abadi untuk manusia yang sudah berkembang secara mental dan fisik.

3-H Sebuah Anugerah

Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar untuk mengubah tata laku dan sikap seseorang atau kelompok orang, melalui proses belajar mengajar dan pelatihan.

Ada empat  pilar menurut UNESCO dalam mengartikan tujuan pendidikan. Yaitu belajar untuk mengetahui sesuatu; belajar untuk melakukan sesuatu; belajar untuk menjadi sesuatu; dan belajar untuk hidup bersama-sama.

Hakekat pendidikan adalah bagaimana kita mampu mengoptimalkan 3   perangkat dasar (3-H) yang diberikan Tuhan kepada setiap insan. Yaitu Heart (Hati/Rasa/SQ), Head (Akal/Cipta/IQ) dan Hand (Emosi/Karsa/EQ).

Keseimbangan dan harmonisasi 3-H tersebut akan membentuk ‘siklus pendidikan’ yang menghasilkan SDM yang unggul atau wajar, dan tercermin dalam laku nyata peradaban di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Proses pendidikan bukan sekedar melakukan transfer knowledge, skill and technology, namun juga transfer of value,   ideology and attitude. Tidak hanya iptek dan ketrampilan, tapi juga imtak, ideologi, budi pekerti, nilai-nilai etika sosial dan budaya yang berkeadaban.

Tantangan Menteri Baru

Menteri pendidikan yang baru dilantik, Nabiel Makarim (35 th) boleh dikata sebagai menteri milenial dan termuda di jajaran pemerintahan pak Jowoki periode kedua. Kami menangkap beberapa pointer dari statemen pertama beliau di layar TV sesaat paska pelantikan ‘mas Nadiem’ sebagai Mendikbud.

Pertama, masa depan Indonesia ada pada generasi muda saat ini. Kedua, tantangan sistem pendidikan Indonesia ke depan sangat berat sebagai negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia. Sistem pendidikan musti integrated dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Mas menteri akan melanjutkan apa yang sudah effort dikembangkan oleh Mendikbud dan Menristek Dikti sebelumnya.

Ketiga, ke depan perlu dikembangkan sistem pendidikan yang berbasis kompetensi dan berbasis karakter. Dan semuanya berawal dari guru yang akan ditingkatkan kapabilitas dan kesejahteraannya. Keempat kebutuhan lingkungan pekerjaan di masa depan sangat berbeda dan berubah, sehingga  link and match antara sistem pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja musti disiapkan agar mampu beradaptasi dengan setiap perubahan.

Kelima dengan 300 ribu sekolah dan 50 juta murid di Indonesia, peran teknologi akan sangat penting dalam menjalankan pendidikan yang kualitas, efisiensi dan administrasi pendidikan.

Keenam kita harus mendobrak dan berinovasi dalam menyelenggarakan pendidikan nasional.

Betapapun  mendikbud harus melihat dunia pendidikan Indonesia dengan ‘mata aji’ dan mendengar  ‘suara hati rakyat dengan penuh ketulusan. Apalagi adanya fakta-fakta di lapangan, bahwa terjadinya beberapa kasus ‘kenakalan’ dan ‘kejahatan’ yang menimpa masyarakat , justru dilakukan oleh anak-anak pada usia emas (1-12 tahun) maupun anak usia remaja SLTP/SLTA (11-17 tahun). Sebagaimana salah satu contoh nyata yg kami sampaikan di awal tulisan ini.

Bukan tidak mungkin, di beberapa daerah terjadi kasus yang mirip atau sama, bahkan lebih tragis dari apa yang dialami Bunga, seorang anak berusia 8 tahun.

Menilai kinerja mendikbud saat ini dan 100 hari ke depan, tentu tidak bijak dan terlalu dini. Kita musti memberi kesempatan  kepada bapak menteri, mas Nadiem Makarim, untuk membuktikan komitmen dan kinerjanya sebagai mendikbud sekurang-kurangnya selama 1 tahun ke depan.

Akankah beliau mampu bertahan sampai 5 tahun, ataukah putus di tengah jalan pengabdian sebagaimana Anis Baswedan dulu. Semua akan berpulang kepada hak perogratif Presiden untuk memonitoring, menakar, menilai dan melakukan evaluasi sejauh mana visi dan misi presiden mampu dibuktikan dengan kerja nyata, kerja keras dan kerja cerdas para menterinya.

Khafid Sirotudin, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jateng dan pemerhati pendidikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *