Khafid Sirotudin
Copet adalah perbuatan mencuri uang atau barang berharga dari seseorang tanpa membuat korban mengetahui jika uang dan barang berharga mereka dicuri pada saat itu. Biasanya korban pencopetan baru menyadari jika uang atau barangnya hilang setelah beberapa saat pencopet menghilang dari pandangan. Kelengahan, abai, “nderah” dan “ora nggalbo” (Jawa : terlena, tidak peduli dan waspada diri) merupakan situasi dan kondisi sasaran yang paling diincar pencopet.
Dalam bahasa Melayu, pencopet biasa disebut Penyeluk Saku, bahasa Inggrisnya Pickpocketer. Mengapa disebut penyeluk saku? Sebab saku celana belakang merupakan tempat atau sasaran pencopet yang paling jamak ditemukan. Jika maling, perampok, penjambret umumnya dilakukan pada situasi dan kondisi yang sepi, tidak demikian dengan copet. Pencopet justru melakukan di tempat keramaian, terbuka dan banyak orang.
Copet biasa beroperasi di sarana transportasi umum (Bus, Angkota, Kereta Api, Kapal, dll), mall dan pasar tradisional (pasar rakyat). Juga di berbagai keramaian umum seperti pasar malam, konser musik di alun-alun dan lapangan, serta kerumunan pengantar calon jamaah haji ketika pelepasan di Pendopo Kabupaten maupun di depan pintu gerbang asrama haji. Untuk kasus yang terakhir ini biasanya pencopet “macak” (berpenampilan) seperti layaknya pengantar haji pada umumnya.
Pencopet biasanya bekerja dalam tim kecil 2-3 orang, meski ada juga yang sendirian. Pernah di tahun 1990-an, saya naik bus umum dari Batang menuju Weleri setelah Maghrib. Sampai di depan pangkalan truk Penundan, bus menaikkan seorang penumpang. Saya duduk berdua dengan kernet bus di kursi paling belakang dan kebetulan penumpang yang baru naik dari pintu belakang. Saya hafal betul dengan orang yang baru naik bus tersebut, meski yakin dia tidak tahu nama saya.
_”Jemo ngendi kas (Darimana mas)?”_ tanya saya tersenyum saat dia mau duduk disampingku.
“Biasa kas ngokce ro magem (Biasa mas minum sama medok)”, jawabnya sambil melirik wajah saya. Penundan selain dikenal sebagai pangkalan truk juga lokalisasi di Kabupaten Batang.
“Ngamu ngarep jim kas (Aku ke depan dulu mas)” katanya sambil berdiri berpindah duduk ke deretan kursi bagian depan. Saya lihat dia duduk di samping seorang penumpang yang kursinya masih kosong di deretan tengah dan membayar ongkos kepada kondektur bus.
Sampai di depan Pasar Plelen Gringsing, saya lihat dia turun dari bus sendirian dan tidak ada penumpang lain yang turun. Selepas jembatan Kalikuto, saya berjalan ke depan mendekati sopir persiapan turun di depan Pasar Weleri. Ada 4 penumpang yang akan turun, salah satunya orang yang tadi duduk disamping penumpang yang barusan turun di Pasar Plelen. Begitu turun dari bus rupa-rupanya penumpang itu baru sadar jika dompetnya kecopetan.
_*Bakul Pasar*_
Bakul pasar merupakan sebutan untuk pedagang yang biasa berjualan di Pasar Tradisional. Berdasarkan Undang-Undang nomor 7 tahun 2014 dan Permendag RI nomor 21 tahun 2021, sebutan Pasar Tradisional diubah menjadi Pasar Rakyat. Pasar Tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang telah berdiri sebelum Indonesia merdeka. Pasar Johar di kota Semarang, dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda dan pernah menjadi pasar terbesar se Asia Tenggara pada jaman kolonial. Saat ini Pasar Johar telah selesai dipugar dan menjadi salah satu ikon ekonomi, setelah mengembalikan Alun-alun kota Semarang sebagai public area bagi warga masyarakat.
Dahulu saya sering diajak suwargi Bapak ke pasar Johar untuk kulakan kain dan garmen. Ibu saya kebetulan pedagang “putihan” di pasar Weleri. Putihan adalah sebutan untuk bakul pasar yang menjual aneka kain dan pakaian (sandang). Tidak hanya kemeja dan busana wanita, tapi juga seragam sekolah, batik, sarung, kerudung dan kasur yang biasanya diisi kapuk randu. Pasca kebakaran pasar Weleri 4 tahun lalu (12/11/2020) ibu kami memilih jualan di rumah. Meski tidak seramai ketika berjualan di pasar namun rasanya “ora kemrungsung” lebih nyaman tatkala dapat melaksanakan shalat Dhuhur dan Ashar berjamaah di mushola Putri Aisyiyah dekat rumah.
Ketika hari libur sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Weleri (1984-1987), selain menemani bapak kulakan, saya biasa menyambangi PM (Pasar Maling) di salah satu sudut pasar Johar lantai 2. Sekedar untuk membeli sepatu branded second (bekas, prelove) yang harganya lebih murah dan lebih bagus ketimbang sepatu baru merk lokal. Dari hasil interaksi sosial dengan para bakul pasar Johar, saya menjadi tahu “kode etik copet” yang berlaku disana. Yaitu dengan cara memasukkan dompet di saku kiri celana bagian belakang. Maknanya sebagaimana tulisan di belakang bus Damri “sesama bus kota dilarang saling mendahului”.
Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan berbagai transaksi barang dan jasa. Ekosistem pasar tradisional tidak hanya memiliki dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi sosial budaya, agama, lingkungan dan peradaban. Jiwa kewirausahaan (sense of entrepreneurship) yang ditekuni bakul pasar beserta stakeholders menghasilkan jiwa gotong royong, welas asih, asah asih asuh serta bisnis yang berwatak sosial religius. Berbeda dengan relasi ekonomi-sosial, suasana kebatinan dan peradaban di pasar modern (mall, mart-mart, market place, dll) yang kapitalistik, individualistik dan liberalistik.
Meski banyak bakul gedang (pisang) dan sayuran memakai gelang emas rentengan di kedua tangan. Atau bakul pasar putihan yang meninggalkan dagangannya untuk menunaikan shalat Dhuhur dan Ashar di mushola atau pergi ke toilet di dalam pasar. Meskipun jumlah bakul pasar ribuan, tetapi tukang becak, kuli bongkar muat (porter), tukang parkir dan pencopet sudah “biso rumongso” (bisa merasakan), saling ta’aruf dan tafahum (mengenal dan memahami), serta memegang teguh etika sosial yang berlaku. Yakni berupa nilai-nilai kejujuran, semangat gotong royong, tolong-menolong, kerjasama, kekeluargaan, tidak saling merugikan dan keadilan sosial ekonomi dalam usaha menjemput rejeki “palilahe” (keridhaan) Gusti Allah.
Pada usia kelas 3-4 SD (1981-1982) tangan saya sering digandeng oleh tukang becak untuk diseberangkan jalan tatkala menyusul orang tua ke pasar. Saya belum pernah mendengar atau mengetahui bakul pasar Weleri kecopetan, sebagaimana kondektur bus tidak pernah kecopetan. Kalaupun ada orang yang kecopetan, hampir bisa dipastikan bukan “circle” (lingkaran dalam) ekosistem yang terbiasa beraktivitas di pasar. Biasanya pencopet akan menyasar pengunjung pasar yang tidak terlalu sering terlihat berbelanja atau para pembeli disaat kondisi pasar ramai menjelang lebaran.
Suatu ketika, saya pernah bertemu “pencopet sadar” di sebuah masjid saat sembahyang Jumat. Saya mengenal betul dengan dia karena pernah dimintai tolong teman yang kecopetan di pasar. Melalui bantuan jasa baiknya, dompet milik teman kami bisa kembali beserta surat-surat penting (KTP, SIM, Kartu ATM) dan uang yang sudah dipotong 20 persen. Bisa jadi si pencopet dompet menganggap dirinya seorang petugas amil zakat yang berhak memungut zakat ghanimah (harta rampasan perang).
Wallahu’alam
Weleri, 5 Oktober 2024
_*) Bidang Hukum dan Advokasi Pedagang DPD APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) Jawa Tengah, Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah_