Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dikenal dengan produksi rokok kreteknya, sehingga punya julukan Kota Kretek. Rokok kretek identik dengan tembakau asli yang dikeringkan, dipadukan dengan cengkih dan saat dihisap terdengar bunyi kretek-kretek.
Tidak ada jejak pasti kapan rokok kretek lahir di Nusantara. Akan tetapi, menurut budaya tutur di kalangan para pekerja pabrik rokok secara turun menurun, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari sekitar akhir abad ke-19.
Mulanya penduduk asli Kudus, Jawa Timur, mengaku sakit pada bagian dada. Dia lalu mengoleskan minyak cengkih. Setelah itu, sakitnya berangsur pulih.
Djamari lantas bereksperimen merajang cengkih dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Rokok ini dibalut menggunakan klobot atau daun jagung kering.
Belitung Punya Destinasi Wisata Menakjubkan, tapi Masih Sepi Peminat, Ternyata Ini Alasannya!
Baca Juga
Belitung Punya Destinasi Wisata Menakjubkan, tapi Masih Sepi Peminat, Ternyata Ini Alasannya!
“Sebenarnya awal mula kretek tahun 1800 di Kudus. Awal mulanya, rokok zaman dulu itu hanya tembakau saja. Kemudian, di Kudus dicoba rokok dicampur minyak cengkih. Ternyata bisa jadi obat dan bisa menyegarkan tenggorokan. Mulailah mereka merancang cengkih dan dicampur ke tobacco dan dilinting menjadi rokok kretek,” ujar Arief Goenadibrata, Managing Director PT.NTI melalui keterangannya belum lama ini.
Intip Wajah Baru Labuan Bajo, Kampung Nelayan yang Naik Kelas Jadi Destinasi Wisata Berskala Internasional
Baca Juga
Intip Wajah Baru Labuan Bajo, Kampung Nelayan yang Naik Kelas Jadi Destinasi Wisata Berskala Internasional
Sigaret Kretek Tangan
Bicara soal rokok kretek, penikmat produk lintingan tembakau pasti tidak asing dengan sigaret kretek tangan (SKT). Dari sekian banyak produsen SKT di Tanah Air, PT Nojorono Tobacco International (NTI) atau Nojorono Kudus (baca: No-yo-ro-no) menjadi nama yang sudah tidak asing di telinga para konsumen rokok.
Bagaimana tidak? Dengan pengalaman menghasilkan rokok kretek sejak 1932, perusahaan asal Kota Kudus, Jawa Tengah, ini merupakan satu dari sekian pelopor rokok kretek lokal yang terus eksis hingga saat ini. Dari bendera PT. NTI, masyarakat mengenal Minak Djinggo dan Clas Mild yang menjadi produk pilihan konsumen di segmennya masing-masing.
Corporate values yang kerap diterapkan dalam setiap langkah bisnisnya, merupakan salah satu bekal resep “umur panjang” Nojorono Kudus. Terlebih, corporate values ini turut menjadi pedoman dalam berinovasi, dibuktikan dengan keseriusannya dalam mempelajari minat pasar industri IHT di Tanah Air maupun pangsa internasional.
Wujud nyata Nojorono Kudus mengaktualisasikan semangat inovasi, salah satunya dengan menghadirkan produk SKT terbaru yang diberi nama Saroja pada pertengahan tahun ini.
“Mengusung nilai F.A.I.T.H (Fraternity, Accountability, Innovation, Trustworthy, & High Performance), Saroja muncul sebagai salah satu produk SKT inovatif dengan kualitas terbaik. Relevan dengan kondisi pasar SKT saat ini, Saroja menawarkan selera membumi, dengan banderol harga yang cukup kompetitif di kelasnya,” tutur Arief Goenadibrata.
Dia menjelaskan, pemilihan nama Saroja juga sarat akan makna filosofis. Diambil dari istilah tata bahasa Jawa “Tembung Saroja” yang setiap katanya saling menguatkan arti makna.
Saroja memiliki makna filosofi paduan kata “urip urup” yang berarti hidup yang menghidupi dari sisi bisnis, sejalan dengan misi Nojorono Kudus dalam mengimplementasikan visinya sebagai perusahaan yang mampu untuk hidup dan menghidupi sekitarnya. Dalam konteks citra merek, Saroja memberikan nilai ganda bagi konsumen, yakni cita rasa terbaik dengan harga kompetitif.
Christina Mirgayawati, selaku Brand Manager PT Nojorono Tobacco International meyakini, kemasan cita rasa berkualitas dengan harga bersahabat yang disuguhkan Saroja, akan memenuhi kriteria kebutuhan mayoritas perokok SKT di Indonesia.
“Berdasarkan paparan data yang kami peroleh, perokok masa kini cenderung mencari rokok yang ‘mengenyangkan’ namun tetap dengan banderol harga kompetitif,” kata Christina.