Menjelang dzuhur, begitu selesai acara launching SKB di SMKM 1 Purwokerto, kami langsung tancap gas menuju Gombong, Kebumen. Hari ini, Sabtu 30 Oktober 2021, selaku Ketua LHKP-PWM Jateng kami harus menghadiri satu kegiatan di Purwokerto, pagi hari dan 2 kegiatan di Kebumen. Pertama, siang hari (13.30-15.30) untuk memenuhi undangan LHKP-PDM Kebumen ikut menyaksikan penandatanganan MoU Program Pendidikan Pemilih antara PDM dengan KPU Kebumen. Dilanjutkan diskusi tentang peran serta warga muhammadiyah dalam politik, diduetkan dengan ibu Halimah Ketua DPD II Golkar yang juga kader Aisyiyah Kebumen. Bertempat di aula kantor PDM Kebumen. _Kedua_, malam hari mengisi materi pada kegiatan perkaderan Baitul Arqam Dasar (BAD) yang diadakan PD Pemuda Muhammadiyah Kebumen di desa Kedungweru kecamatan Ayah. Jaraknya sekitar setengah jam perjalanan dari tempat menginap kami di Gombong.
Setelah check-in hotel yg terletak di samping RS PKU Gombong dan menurunkan travel bag, kami diantar mas Heri Pramono, Ketua LHKP-PDM Kebumen, menuju kantor PDM di kota Kebumen, tempat kegiatan diadakan. Kami sengaja memilih penginapan di Gombong, karena lokasinya di tengah antara kota Kebumen dengan Ayah, nama kecamatan tempat kegiatan BAD PDPM.
Sampai aula PDM Kebumen, kegiatan baru saja dimulai. Penandatanganan MoU dengan KPU Kebumen terkait program pendidikan pemilih untuk pemilu 2024. MoU ditandatangani oleh Ketua KPUD dan Ketua PDM yang diwakili mas Mulkhan, Sekretaris PDM Kebumen asal Klaten. MoU ini sebuah terobosan kerjasama sinergis bagi terwujudnya demokrasi yang substansif di daerah. Belum banyak PDM yang melakukan hal ini. Perlu kehadiran kader yang memiliki sense of partnership seperti mas Agus Hasan. Mantan aktivis AMM yang sekarang menjadi anggota KPU Kebumen.
3 Model PDM
Berkaitan dengan keragaman sikap pimpinan dalam kaitannya dengan politik (praktis) dan peran kebangsaan di daerah, sebatas pandangan subyektif kami, ada 3 model PDM di Jawa Tengah.
Pertama, _apolitik_. PDM model ini banyak didominasi oleh bapak-bapak yang masih aktif maupun sudah purna ASN di berbagai level eselon pemkab/pemkot/instansi vertikal tingkat daerah. PDM pada umumnya dipimpin oleh Ketua/Sekretaris yang berlatar profesi sebagai kepala sekolah/guru/ustadz di sekolah negeri, baik dibawah kemendikbud atau kemenag.
Sebagaimana kita maklumi bersama, bahwa di dunia birokrat/ASN berlaku _”hierarchy of fear”_, hirarki ketakutan. Staf non eselon takut kepada Kasi/eselon IV. Kasi takut terhadap Kabag/Setdin yang eselon III. Kabag/Setdin takut kepada Kepala Dinas/eselon II, dan seterusnya.
Kepemimpinan PDM (13 besar) model _’apolitik’_ biasanya bergenre piyayi, rajin rapat, namun lambat dalam mengambil keputusan taktis strategis organisasi. Apalagi kalau dihadapkan vis-a-vis dengan kepentingan kepala daerah di wilayahnya. Mesti berpikir, menimbang ulang dan rapat berkali-kali sebelum memutuskan. Pola komunikasi politik yang dibangun lebih bersifat instrumental _patron-client relationarship_.
Kelebihan PDM model ini yaitu tertib administrasi, taat norma positif, zona nyaman, ‘anteng’ –untuk tidak mengatakan lamban– ketika menghadapi situasi kondisi politik di daerah yang sangat dinamis.
Kedua, _kamipolitiken_, yaitu segala aktivitas organisasi selalu dikaitkan, didekati dan dinilai dari kacamata politik praktis. Struktur PDM model ini kebanyakan diisi secara kurang berimbang oleh dominasi aktivis dan mantan pengurus teras parpol atau mantan aktivis Ormas/OKP yang terafiliasi ke partai politik tingkat lokal. Atau personil yang memiliki _sense of politic_ sangat tinggi tetapi memiliki keberanian rendah untuk terjun langsung ke arena politik praktis. Jangankan untuk nyaleg, sekedar mendaftar cakades pun tidak bernyali.
Setiap kegiatan, acara, perhelatan persyarikatan selalu _’dihubungkan’_ dengan kepentingan politik partisan. Bahkan untuk sekedar membuat baju seragam dan mewarnai bangunan milik AUM, acapkali disesuaikan warna dasar bendera partai politik tertentu.
Barangkali bapak pimpinan model _kamipolitiken_ lupa bahwa menjadikan monolitik warga Muhammadiyah merupakan tindakan sia-sia. Paling banter yang bisa dilakukan hanyalah menjadikan _’mainstream’_ peran serta simpatisan/warga untuk memilih caleg/cakada yang sudah terbukti dan teruji berkiprah di berbagai aktivitas persyarikatan. Dukungan riil suara pemilih dari warga Muhammadiyah bagi seorang cakada dan caleg akan sulit diperoleh apabila ybs. sekedar datang sekali _’setor muka’_ ke forum pengajian ahad pagi, sambil memberi sedikit bantuan dana lalu minta waktu tampil pada podium di depan jamaah.
Warga/simpatisan persyarikatan pada umumnya pemilih rasional. Mereka elegan, melek politik, berpendidikan cukup tinggi dan sulit untuk sekedar di PHP dengan janji muluk seorang caleg/cakada.
Kelebihan PDM model _kamipolitiken_ yaitu memiliki sense of politic yang cukup tinggi, bahkan ada sebagian cenderung berlebihan. Pada umumnya PDM model ini lebih reaktif dan pro-aktif namun kurang kreatif membuat agenda dalam memperjuangkan beragam aspirasi umat. Adapun kelemahannya seringkali terjadi hubungan _’dingin’_ ketika ada kebijakan pemda yang membutuhkan analitis kritis konstruktif.
Gambaran PDM model ini nampak jelas dari posting/komen di berbagai group sosmed/WA Muhammadiyah di tingkat daerah. Terutama pada saat Pilpres 2019 lalu.
Ketiga, _moderat_. PDM model ini biasanya dipimpin oleh Ketua/Sekretaris dari kalangan _civil society_. Yakni kalangan enterpreneur/saudagar, praktisi profesional serta akademisi PTM/PTS yang relatif merdeka dan sudah selesai dari sisi keinginan personal. Pola komunikasi yang dibangun dengan penguasa setempat lebih bersifat setara dan elegan.
PDM model ini tidak menggantungkan diri dan takut dengan penguasa setempat.
Pimpinan inti PDM banyak didominasi oleh orang-orang yang relatif sudah selesai dengan kepentingan pribadi, keluarga dan _dzuriyah_ nya. Pola hubungan yang dibangun lebih bersifat _partner in progress_ (mitra kritis konstruktif). Tidak terjebak menjadi oposan yang asal berbeda dengan penguasa lokal, tapi juga tidak terjerembab menjadi oportunis, ABS (asal bapak senang) dan menjilat penguasa lokal.
PDM Banyumas dan Kebumen saat ini adalah contoh dari PDM model moderat. Aktivitas AMM pun relatif lebih semarak dan disupport penuh. Tidak ada ketakutan AMM untuk salah berbuat baik saat menginisiasi sebuah program dan kegiatan yang menurut mereka bermanfaat bagi umat dan masyarakat. Banyak kader AMM yang memilih berkhidmat di berbagai lembaga kepemiluan dan parpol, sebagai akademisi dan kaum profesional (dokter, lawyer, pebisnis, dll), wartawan dan media network.
PDM Banyumas memiliki UMP yang sejak awal dibangun oleh ide besar dan semangat berkobar tokoh-tokoh PDM pendahulu. Saat ini UMP berkembang pesat menjadi salah satu PTM terbesar di Jateng. PDM Kebumen memiliki rumah sakit terbanyak yang berbasis di PCM. Bahkan tahun ini lahir Universitas Muhammadiyah Gombong yang megah, lokasinya bersebelahan dengan RS PKU Gombong.
Kami mengamati kepemimpinan PDM model moderat seperti ini perlu diperbanyak dan dikembangkan di 35 kabupaten/kota dan 576 kecamatan se Jawa Tengah. Dan seharusnya mulai dipikirkan oleh kader-kader AMM untuk melakukan regenerasi dan revitalisasi kepemimpinan lokal pada momen Musyawarah Daerah pada 2023 yang akan datang. Khususnya pada kepemimpinan daerah yang masih belum moderat.
_*Tri Dimensi Kader*_
Bakda mandi dan menjalankan shalat jamak qashar maghrib-isya’, kami dijemput mas Agus Hasan untuk diantar ke lokasi BAD yang diselenggarakan PDPM Kebumen. Kami mengalah waktu ketika ditempatkan di sessi terakhir jam 22.00 WIB, dari jadwal semula jam 20.00. Waktu kritis dimana peserta mengalami kelelahan dan kejenuhan untuk menerima materi.
Ya itung-itung buat istirahat, _’ngeluk boyok’_ sambil ngopi dan makan malam di Saung Ndeso milik BUMDes Kedungweru, setelah sehari penuh beraktivitas sejak pagi di Purwokerto.
Menempati sebuah aula di kompleks Balai Desa, 80 orang peserta utusan dari semua PCPM se kabupaten Kebumen mengikuti BAD selama 3 hari 2 malam. Jumlah peserta perkaderan formal terbanyak AMM (IPM/IMM/PM/NA) yang pernah kami datangi. Biasanya peserta perkaderan formal diikuti 25-30 orang.
Sungguh luar biasa PDPM Kebumen dalam menjalankan perkaderan formal bagi kader-kadernya. Kami yakini adanya kesadaran kolektif di kalangan PDPM yang diketuai dr. Hasan Bazuni. Alumni Madrasah Muallimin Jogja dan sekaligus Direktur RS PKU Sruweng.
Di Jateng kami juga mengenal dekat seorang dokter spesialis orthopedhi, yaitu dr. Lukman Sp.Ot, Ketua PCPM Cepu, Blora. Mereka berdua selain masih muda, energik, _’enthengan’_ (ringan kaki), suka berderma _nomboki_ kegiatan, juga aktif menjadi relawan Tim Medis MDMC. Dua dokter muda ini, merupakan sedikit contoh dari kalangan anak muda yang sudah mapan secara ekonomi, tetapi masih mau mengurusi umat dan masyarakat melalui gerakan Pemuda Muhammadiyah.
Kami jadi teringat apa yang pernah disampaikan Dr. H. Dadang Syaripudin, PWM Jawa Barat. Kang Dadang adalah sahabat kami di IPM. Kalau tidak salah tahun 1990 di Malang, ketika kami mengikuti Seminar & Lokakarya Nasional (Semiloknas) Sistem Perkaderan IPM. Saat itu kang Dadang Ketua PW IPM Jabar dan belum selesai S1 di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Dalam forum itu, beliau menyampaikan sebuah pemikiran bahwa hanya ada satu macam kader di dalam Muhammadiyah yaitu “Kader Muhammadiyah”_. Adalah kader yang kuat dalam iman, bersemangat dalam Islam dan bergembira dalam ihsan (aqidah, syariah, akhlaq), serta memantapkan diri untuk berkhidmat sampai akhir hayat di dalam harakah Muhammadiyah.
Kader Muhammadiyah yang berkhidmat di berbagai lapangan kebangsaan disebut _*kader bangsa*_. Kader Muhammadiyah yang merelakan diri untuk diamanati sebagai pimpinan muhammadiyah/ortom dan fokus mengembangkan berbagai AUM yang ada disebut sebagai _*kader persyarikatan*_. Dan kader muhammadiyah yang mengikhlaskan diri untuk menjadi mubaligh, juru dakwah, khatib/imam masjid, pengurus MUI dan berbagai lapangan pengabdian keummatan lainnya, disebut sebagai _*kader ummat*_.
Tidak ada _dikotomi_ kader muhammadiyah yang bergerak di tiga matra pengabdian itu. Baik sebagai kader bangsa, kader umat maupun kader persyarikatan.
Beruntung kami bisa _membangunkan_ semangat peserta BAD malam ini. Sehingga rasa lelah terasa sirna. Banyak beragam pertanyaan yang membuat suasana semakin hidup. Kami lihat daftar peserta, dan ternyata banyak dari mereka adalah _fresh graduate_, lulusan sarjana dari berbagai disiplin ilmu dan perguruan tinggi.
Maknanya, kader PDPM Kebumen, sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna AUM, insya Allah terjamin di masa mendatang.
2 jam lebih kami menyampaikan materi tentang *Tantangan Global dan Nasional dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara*. Jika waktu tanya jawab tidak dibatasi oleh moderator, rasanya session kali ini harus diperpanjang sampai pagi, ketika masih ada beberapa peserta yang mengacungkan jari.
Jam di tangan kami telah menunjukkan waktu 00.15 WIB, dan moderator memungkasi sessi terakhir BAD dini hari.
_*Bisaroh Pengkaderan*_
Proses pengkaderan bagi aktivis Muhammadiyah ada 2, yaitu pengkaderan formal dan non formal. Masing- masing Ortom memiliki Sistem Perkaderan formal tersendiri. Tak terkecuali IPM, IMM, NA dan Pemuda Muhammadiyah.
Kami masih ingat tatkala jaman dahulu menjadi instruktur IPM, baik tingkat wilayah maupun pusat. Hampir sebulan penuh setiap ramadhan atau liburan sekolah, kami ditugaskan mengisi Taruna Melati (TM) dan Latihan Instruktur (LI) IPM di berbagai daerah dan wilayah. Berpindah dari satu daerah ke daerah lain, tanpa pulang ke rumah. Pembagian tugas disampaikan pada saat rapat rutin di PWIPM, jauh hari sebelumnya. Ada juga penugasan yang disampaikan oleh PP/PWIPM melalui telepon umum kantor Telkom atau titip pesan melalui orang tua kami di rumah melalui _telepon onthel_.
Pernah suatu malam Idul Fitri kami harus menumpang truk sembako dari Pemalang untuk bisa lebaran di Weleri, setelah selesai menjadi MOT (Master of Training) TM-II yang diadakan PDIPM Pemalang.
Kami pernah menginap di daerah Gunung Kidul, di rumah orang tua mas dokter Agus Taufiqurrahman, M.Kes. Atau berdua naik bus umum dengan mas Dr. Agung Danarto, M.Ag. dari Bandung menuju Semarang. Berangkat dari terminal Bandung jam 06.00 pagi, tiba di Weleri jam 15.00 sore. Sembilan jam perjalanan darat, hampir sama dengan waktu tempuh pesawat Garuda membawa jamaah haji dari embarkasi Solo menuju Jedah Arab Saudi.
Salah satu hadiah (bisaroh) yang paling indah bagi kami, yakni ketika diajak _piknik_ ke lokasi wisata terdekat pasca kegiatan selesai. Atau ditraktir makanan khas daerah yang kami belum pernah makan sama sekali. Suatu kemewahan tersendiri serta pengalaman tak pernah terlupakan hingga akhir hayat.
Suatu ketika, kami pernah diberi _bisaroh_ berupa amplop oleh panitia setempat. Rasanya senang sekali dan sudah berniat akan membelikan buah tangan buat adik-adik di rumah. Sebelum membeli oleh-oleh di terminal, kami buka amplop tersebut. Dan alhamdulillah isinya kosong. Hahaha.😁 Akhirnya kami tidak jadi membeli oleh- oleh. Yang penting masih ada cukup uang saku buat bayar tiket bus untuk pulang.
Pengalaman unik inipun tidak akan pernah terlupakan. Kami tetap berprasangka baik/positif pada temen IPM yang waktu itu memberi. Pasti salah menyerahkan amplop yang belum diisi uang. Mau telp, SMS atau WA jelas belum ada. Jangankan HP atau andorid, telepon rumah/PSTN pun masih jarang yang memilikinya.
Wallahu’alam
_Gombong, 31 Oktober 2021_.