Oleh Khafid Sirotudin, Pemerhati Pangan, Pengurus DPW APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) Jateng, warga Muhammadiyah
Sore setengah bulan lalu kami melintas di depan TKW (Taman Kota Weleri) yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Al-Huda Muhammadiyah.
Di seberangnya berjejer antrian 20-an orang mengular di depan outlet Mixue.
Kedai es krim and tea asal Tiongkok yang mulai masuk di kota kecil Weleri.
Ajaibnya, meski hujan rintik mengiringi, konsumen tetap setia mengantri bak antrian warga miskin yang akan mendapatkan BLT di kantor Pos.
Bedanya, antrian BLT mendapatkan uang, antrian Mixue mengeluarkan uang.
Di bawah bendera PT Zhiseng Pasific Trading, pemegang lisensi franchise di Indonesia, outlet Mixue mulai menggurita dan “setia” (setiap tikungan ada).
Harga franschise per outlet berkisar 370.000 Yuan atau Rp 800 juta-an.
Omzet Mixue di Indonesia selama tahun 2022 telah menembus angka Rp 9 Trilyun dengan 300-an gerai tersebar se Indonesia.
Zhang Hongchao adalah pendiri dan pemilik gerai es krim Mixue, merintis awal usahanya sejak 1997 di Zhengzhou, Henan, RRC.
Dia mulai usaha seusai lulus kuliah di Universitas Henan.
Konon waktu itu, modal awalnya hanya sekitar Rp 7 juta-an.
Sedangkan outlet Mixue pertama di Indonesia tahun 2020 berada di Bandung.
Kami jadi teringat Dalino dan Sugeng, penjual es puter yang tinggalnya persis di samping rumah orang tua kami, dukuh Kedonsari, Penyangkringan Weleri era 90-an.
Sama-sama pelaku UMKM. Kebetulan keluarga kami juga produsen es lilin aneka rasa.
Sejak masih SMP saya diberi tugas Ortu untuk membungkusi es lilin 1-2 baskom sepulang sekolah.
Pagi sebelum berangkat sekolah, bapak dan saya bertugas mengantarkan puluhan termos es lilin ke beberapa warung dan toko bersifat konsinyasi, titip jual.
Baca Juga: Mau Bikin Tanaman Aglonema Terlihat Segar di Musim Kemarau? Jangan Lupa Misting
Sebagai usaha sampingan, cukup untuk bayar listrik, telepon, air dan tambahan uang saku sekolah kami (5 anak).
Es puter berbahan baku santan kental yang dipadukan dengan tepung maezina, bubuk vanili, gula dan pewarna makanan untuk mempercantik sajian.
Lazim disebut es tung-tung, karena Dalino dan Sugeng ketika keliling menjual es puter sambil mengeluarkan bunyi “tung-tung”.
Suara yang dihasilkan dari “gong kecil” yang dipasang di sisi kanan gerobak.
Pada era 2000-an, kami juga mengenal dekat almarhum Senthot, pembuat es puter yang sering dipakai warga Weleri untuk melengkapi sajian penutup hajatan.
Usahanya kini diteruskan anak-anaknya. Hampir setiap tahun kami pesan 1-2 blong untuk berbagai keperluan.
Seingat kami, terakhir pesan pada saat mengadakan walimatul ursyi pernikahan anak kami tahun 2018.
Sebagaimana toko kelontong modern yang menggerus pangsa pasar warung kelontong di desa, kehadiran waralaba asing yang masuk hingga ke kota kecil dan desa perlu mendapatkan perhatian semua pihak.
Terutama pihak regulator yang memiliki otoritas, yaitu Kepala Daerah dan DPRD.
Undang-Undang dan Peraturan Turunannya (Perpres, Perpu, Perda, Perdes) sudah cukup tersedia.
Termasuk UU tentang Pasar Rakyat dan UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha yang penerapannya masih belum optimal.
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan tersebut, sudah seharusnya Pemerintah Negara Indonesia memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi berbagai usaha rakyat.
Khususnya usaha mikro, kecil dan menengah.
Dibutuhkan political will dari Pemerintah dan Pemda bersama DPRD Kabupaten/Kota untuk hadir melindungi UMKM di berbagai Pasar Tradisional/Rakyat melalui penegakan Peraturan Daerah yang pro-rakyat kecil.
Sebagaimana amanat hasil Muktamar ke 47 di Makasar dan 48 di Solo beberapa waktu lalu, Muhammadiyah bersiap diri mengembangkan pilar ke empat persyarikatan di bidang ekonomi.
Seabad lebih Muhammadiyah diakui menjadi pionir dalam pengembangan berbagai AUM Kesehatan, Pendidikan dan Sosial.
Kini saatnya memulai pengabdian di bidang ekonomi kerakyatan.
Hadirnya Lembaga Pengembangan UMKM sebagai bagian dari numenklatur UPP (Unit Pembantu Pimpinan) PP Muhammadiyah 2022-2027, setidaknya menyiratkan niat dan tujuan mulia itu.
Kaidah BUMM (Badan Usaha Milik Muhammadiyah) juga sudah ditetapkan PPM 5 tahun lalu.
Dan tentu masih memerlukan penyempurnaan, terutama soal legalitas Badan Hukum BUMM yang hanya berbentuk PT (Perseroan Terbatas).
Khususnya peraturan larangan saham personal/pribadi masuk BUMM.
Sebagaimana Konstitusi UUD 1945 mengatur bahwa pelaku usaha di Indonesia ada 3, yaitu : Negara (BUMN/BUMD), Koperasi dan Swasta.
Koperasi (kumpulan orang/one man one vote) musti diwujudkan menjadi pilar ekonomi rakyat ketimbang PT (one share one vote).
Menurut pendapat kami, kalau toh BUMM berbadan hukum PT, maka pemegang sahamnya adalah Struktur Pimpinan Muhammadiyah (PRM/PCM/PDM/PWM/PPM), AUM, Koperasi Karyawan AUM dan Takmir Masjid/Mushola.
Haram hukumnya saham perorangan masuk di BUMM.
LP UMKM Muhammadiyah beserta LP2NU (Lembaga Pengembangan Perekonomian NU), APPSI dan Komunitas lain ekonomi keumatan bisa berperan aktif, berkolaborasi dan bersinergi bersama pemerintah/pemerintah daerah untuk melindungi segenap anak bangsa serta mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Salah satu caranya, menghadirkan praktek nyata Sistem Ekonomi Pancasila sebagaimana telah disampaikan Muhammad Hatta, Prof. Mubyarto dan Prof. Dawam Rahardjo.
Yaitu sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai luhur ideologi Pancasila. Sistem ekonomi berkeadaban washatiyah dan berkeadilan sosial.
Tidak kapitalistik-liberal, juga tidak sosialistik-komunis.
Sejalan dengan ajaran Nabi saw : “Orang berserikat dalam 3 hal : air, rumput dan garam”.
Air, rumput (pangan/makanan pokok) dan garam (sumberdaya mineral, SDA) harus dikuasai “persyarikatan” (negara) dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Membiarkan Usaha Mikro dan Kecil untuk bersaing secara bebas “free fight liberalism” dengan Usaha Besar adalah sebuah kedzaliman ekonomi.
Ibarat pertandingan seorang petinju Kelas Bulu harus berhadapan dengan petinju Kelas Berat.
Mari kita hadirkan praktek ekonomi di Indonesia yang melindungi UMKM dengan Peraturan yang memihak “wong cilik” (dhuafa’), mendidik pelaku UMKM agar berdaya, memfasilitasi akses permodalan dan pemasaran yang terjangkau, rantai supply and chain yang efisien agar UMKM bisa survive di era persaingan ekonomi global yang makin lilberal-kapitalistik.
Bukan sebuah perjuangan yang mudah, namun juga bukan sesuatu yang sangat mungkin diwujudkan bersama segenap komponen anak bangsa.
Sebagaimana Bung Karno pernah menyampaikan Tri Sakti : Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Budaya.
Bismillah, semoga langkah kecil LP UMKM Muhammadiyah saat ini bisa membuat bahagia dan sejahtera Dalino, Sugeng dan Senthot-2 baru di masa mendatang. Wallahua’lam
Tegalmulyo, 18/3/2023,***