Ting-tong, ting tong…suara bel rumah berbunyi. Saya bukakan pintu rumah, kebetulan saya sedang siap-siap mau mengeluarkan sepeda.
“Assalamu’alaikum” sapa om Udin, adik saya sambil menurunkan dua kantong plastik besar cabai keriting dari sepeda motor.
“Wa alaikum salam, piro rego lombok saiki om (berapa harga cabai sekarang)”, tanya saya sambil menyandarkan sepeda di halaman rumah.
“Regone mundak akeh, 65 ewu sekilo. Lombok abang regane meh podho rawit setan (harganya naik tinggi, Rp 65-rb per kg. Cabai merah harganya hampir sama dengan cabai rawit setan/merah)” jawabnya sambil memasukkan kantong cabai ke dalam rumah.
“Kit kapan mundake (sejak kapan naik)”, tanya saya sambil menutup pintu rumah.
“Wis meh telung minggu, ben dino mundake 5 ewu (sudah hampir 3 pekan, setiap hari naik Rp 5 ribu). Assalamualaikum” terangnya sambil bergegas menuju masjid Al-Huda Muhammadiyah Weleri.
“Waalaikum salam, maturnuwun”, jawab saya, lantas bergegas menaiki sepeda menuju masjid An-Nur untuk jamaah subuh.
Harga cabai merah keriting (pedas) adalah bahan baku utama sambal untuk Nasi Kuning Mringin, usaha kecil-kecilan istri di rumah yang telah berusia hampir 7 tahun. Untuk membuat sambal membutuhkan 25-30 kg cabai keriting dan 5-10 kg cabai merah trompo (tidak pedas). Sekali membuat sambal bisa digunakan untuk kebutuhan jualan 1-2 pekan. Selama ini adik saya yang dipasrahi istri untuk memasok cabai dan sayuran yang dibutuhkan usahanya.
Sebelum Pasar Weleri I terbakar (Kamis malam Jumat, 12 November 2020, jam 21.00 WIB), biasanya berbelanja di “pasar krempyeng sayuran dan buah-buahan” di depan pasar Weleri. Bukanya jam 23.00 malam dan selesai jam 06.00 pagi, persis seperti pasar sayur di sepanjang jalan MT Haryono dekat Pasar Peterongan Semarang. Pedagang pemasok berasal dari berbagai daerah penghasil cabai dan beragam sayuran, antara lain Bandungan dan Jimbaran Kabupaten Semarang, Temanggung, Wonosobo, Kabupaten Pekalongan serta Limbangan-Boja- Sukorejo-Patean Kendal.
Paska satu tahun kebakaran (28 Desember 2021), “Weleri Nite Hortikultura Market” dan seluruh pedagang Pasar Weleri I dipaksapindahkan ke Pasar Penampungan yang sempat roboh 2 kali disapu angin lisus pada saat pembangunan sedang dikerjakan oleh PT Aldila Kendal. Lokasinya berada disisi barat utara terminal Bahurekso, tiga kilometer dari Pasar Weleri. Selain sepi pembeli, juga boros waktu, tenaga dan biaya. Pedagang pasar penampungan hanya bertahan kurang dari 6 bulan.
Saat ini, hampir 100 persen pedagang meninggalkan pasar relokasi atau penampungan, kecuali sebagian pemasok dan pedagang produk hortikultura (sayuran dan buah-buahan) dari luar daerah yang masih bertahan. Pedagang “putihan” (garmen, tekstil dan produk tekstil) sebagian besar berjualan di rumah dan sisanya menyebar di pasar Weleri II dan Pasar Desa Penyangkringan. Sedangkan pedagang “basahan” (sayur-mayur, ikan, daging, hasil bumi) banyak berpindah ke Pasar Tlongopan dan Pasar Dadakan di terminal angkutan depan Pasar Weleri I. Sebuah fakta empiris yang menunjukkan pembangunan pasar penampungan tidak direncanakan secara baik dan tidak melibatkan partisipasi pedagang korban kebakaran.
Seusai Subuhan di masjid An-Nur, saya bersepeda menuju Pasar Tlongopan yang mulai aktif sejak bakda Shubuh. Hampir semua dagangan yang dijual disini merupakan produk pangan, baik mentah maupun olahan. Biasanya kami membeli gethuk dan aneka bubur : sumsum, candil, salak, mote dan melon buat sarapan. Istri saya biasa membeli sayuran dan ikan untuk menyiapkan sarapan buat anak-anak ketika di rumah.
Saya sempatkan mampir sebentar ke penjual cabai.
“Pinten regine lombok abang niki yu (berapa harga cabai merah keriting ini)?”.
“Sakniki regine nembe pedes-pedese, pitungpuluh ewu (sekarang harganya sedang ‘pedas-pedasnya’, Rp 70 ribu)” jawab penjual.
“Sik penting bakule ora pedes (Yang penting penjualnya tidak pedas)”, kata saya sambil guyon.
“Badhe betah pinten, dilarisi ngge bukak dasar (Mau butuh berapa, dibeli buat pembuka rejeki)”, tanya penjual tanpa menoleh muka, sedang asik menata dagangan.
“Mboten yu, namung tanglet kemawon, maturnuwun (tidak mbakyu, hanya bertanya saja, terimakasih)” sapa saya sambil pamitan.
“Oh ngapunten kesupen, biasane sik mblanjakke adike, asring kepanggih teng pasar krempyeng (Mohon maaf lupa, biasanya yang belanja adiknya yang sering bertemu di pasar malam sayuran)”, katanya setelah mengenali wajah saya.
Fenomena Tahunan
Sebenarnya kenaikan dan penurunan harga cabai bukan sesuatu yang terjadi kali ini. Hampir setiap tahun secara periodik terjadi kenaikan, terutama pada bulan Oktober hingga Desember dan menjelang hari raya Iedul Fitri. Permasalahannya adalah mengapa Pemerintah dan Pemda tidak melakukan langkah antisipatif atas harga cabai saat ini yang mengalami kenaikan hampir 200 persen. Alasan yang paling sering diungkapkan oleh pejabat departemen pertanian, yaitu berkurangnya pasokan karena petani cabai belum panen atau adanya kegagalan panen, alasan cuaca dan musim (penghujan atau kemarau panjang), serta “menuduh” pedagang menimbun dan memainkan harga.
Barangkali pejabat bidang pertanian lupa jika hukum ekonomi pasar tidak pernah berubah. Apabila penawaran (supply) berkurang dan permintaan (demand) tetap, maka secara otomatis harga akan naik. Sebaliknya, jika penawaran meningkat (misal : panen raya), dan permintaan tetap (apalagi turun) maka harga akan turun dengan sendirinya. Terkait dengan cuaca dan iklim, barangkali mereka lupa melihat prakiraan cuaca dari BMG setiap hari, setiap pekan dan sebulan ke depan untuk setiap daerah dan wilayah se Indonesia. Soal penimbunan cabai, rasa-rasanya tidak masuk akal. Bukankah cabai segar hanya bertahan 2-3 hari, mau disimpan dan ditimbun dimana, toh setahu saya para bakul dan pedagang tidak ada yang punya fasilitas pergudangan berpendingin (cold storage).
Berdasarkan data BPS (2021, 2022), pulau Jawa masih mendominasi sebagai penghasil cabai, terutama cabai rawit. Jawa Timur sebagai provinsi penghasil cabai terbesar, disusul dibawahnya Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat dan Aceh. Saya jadi bertanya dalam batin, jika di Jateng saja mengalami kenaikan harga cabai yang “pedas”, lalu bagaimana dengan wilayah lain diluar sentra penghasil cabai. Bisa-bisa naiknya harga cabai “sangat pedas” sampai “level 10” sebagaimana ukuran kepedasan penjual seblak di kota Semarang.
Kejadian anjloknya harga cabai juga pernah terjadi di Jateng pada bulan Agustus 2021, hanya berharga Rp 2.500-3.000 per kg di tingkat petani. Pada waktu itu, Pimpinan Daerah Aisyiyah Demak dan Jepara membeli 1 ton cabai petani seharga Rp 6.000 per kg dan disedekahkan ke masyarakat yang membutuhkan. Lantas dimanakah peran pemerintah dan negara dalam upaya menyejahterakan petani. Bukankah konstitusi mengamanatkan kepada negara dan pemerintah untuk hadir melindungi segenap bangsa dan menjamin kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat (termasuk petani).
Kenaikan harga sembako (minyak goreng, beras, gula, cabai, bawang) yang tiba-tiba meroket sudah saatnya bisa dikendalikan apabila ada political will dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang mempunyai seperangkat kelembagaan dan instansional yang sangat memadai. Menurut pendapat kami, kejadian demi kejadian tersebut lebih disebabkan karena kurangnya kolaborasi, sinergi dan gotong royong antar kementerian atau dinas terkait. Setiap departemen dan dinas seringkali memiliki ego sektoral dan abai pada situasi, kondisi, toleransi, pantauan dan jangkauan perdagangan produk pertanian di akar rumput.
Sering-seringlah (sepekan sekali) para pejabat publik “blusukan” jalan-jalan ke pasar tradisional (pasar rakyat). Selain “healing” dan rekreasi, sambil membeli bahan pangan atau sembako yang harganya lebih murah ketimbang di supermarket. Kalau perlu, saat membeli produk pangan tidak usah menawar harga, diniati saja sebagai sedekah untuk para bakul kelas usaha mikro dan kecil di pasar. Sekaligus dapat memantau harga bahan pokok masyarakat. Jangan hanya blusukan di pasar tradisional dikala musim kampanye pileg, pilpres dan pilkada saja. Apalagi blusukan tanpa “saweran” membeli jajanan dan kudapan yang tidak seberapa harganya. Bisa saja bukan simpati yang diperoleh, malah mendapat antipati dari para bakul pasar.
Pasar tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang adiluhung. Sudah ada sejak jaman dahulu kala di setiap ibukota kecamatan. Kita mesti ingat bahwa seorang pedagang pasar dan petani mampu melahirkan anak menjadi pejabat, birokrat, anggota DPR/DPRD, Kepala Daerah dan kaum profesional lainnya. Namun seorang pejabat belum tentu mampu melahirkan seorang anak menjadi pedagang pasar rakyat atau petani yang jujur, bersahaja, mandiri, berkarakter, adil dan berkeadaban.
Sepertinya fenomena naiknya harga cabai bisa diajukan sebagai salah satu pertanyaan oleh para panelis pada saat Debat Capres-Cawapres mendatang. Sebagai salah satu alat ukur bagi rakyat sebelum memutuskan siapa yang akan dipilih pada Pemilu 14 Februari 2024. Sekaligus agar rakyat dapat mencatat dan mengingat-ingat, seberapa besar komitmen dan tanggungjawab para kandidat terhadap janji yang telah diucapkan, serta visi dan misi tertulis yang telah diserahkan ke KPU ketika mendaftarkan diri sebagai bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
Wallahu’alam
Tegalmulyo, 7 November 2023.
*) Pemerhati Pangan, Ketua Lembaga Pengembang UMKM PWM Jateng, Pengurus APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia) Jawa Tengah.