SEGO AKING

Orang Indonesia itu kreatif dan solutif. Termasuk orang Jawa dalam memanfaatkan barang sisa. Misalnya nasi sisa masak kemarin _(Jawa: sego wadhang)_, paginya dibuat nasi goreng. Nasi goreng akan nikmat apabila dibuat memakai nasi yang sudah dingin, tidak hangat apalagi kondisi masih panas. Jaman sekolah dulu, ibu kami sering memasak nasi goreng _’sego wadhang’_ buat sarapan anak-2nya. Nasgor khas Jawa dengan bumbu garam, bawang, bawang merah, cabai dan terasi. Nyamleng.

Kalo masih ada nasi tersisa dan belum bisa dimanfaatkan segera, biasanya masyarakat memanfaatkannya untuk pakan ayam, bebek, mentok, angsa bagi keluarga yang punya hewan piaraan.

Bagi keluarga yang tidak memiliki hewan piaraan, biasanya dijemur, dikeringkan menjadi ‘sego aking‘ agar bisa disimpan untuk waktu yang lebih lama.

Seiring perkembangan jaman, nasi goreng sekarang menjadi menu di berbagai cafe, warung, angkringan bahkan restoran dan hotel berbintang. Nasgor menjadi menu ‘unik-endemik‘ Indonesia. Disajikan dengan berbagai ragam nama: nasgor telur, nasgor seafood, nasgor babat, nasgor pete, nasgor kambing, dll.

Sego Aking

Tetangga depan rumah kami kebetulan penjual nasi goreng, mie goreng dan kuah. Sudah 10 tahun mas Yusro berjualan nasgor dan mie goreng/kuah sebagai sumber penghasilan utama keluarga. Buka jam 17.00 tutupnya jam 24.00 WIB. Alhamdulillah mampu ‘nguripi’ keluarga di tengah pandemi. Kamipun sering menjamu tamu dengan menu yang dijualnya.

Saling berbagi rejeki dengan tetangga. Mengamalkan ajaran pepunden Jawa “sak kuat-kuate pager tembok luwih kuat pager mangkok. Sak kuat-kuate pager wesi luwih kuat pager nasi“. (Sekuat-kuatnya pagar tembok lebih kuat pagar mangkok. Sekuat-kuatnya pagar besi masih lebih kuat pagar nasi). Sekaligus mengamalkan ajaran agama untuk selalu sedekah, berbagi serta berbuat baik kepada tetangga dan sesama.

Berjualan nasi goreng, tentu tidak selalu habis persediaan nasi yang sudah terlanjur dimasak. Namanya juga rejeki, kadang dikejar tidak kepegang, ditunggu tidak datang. Yang penting sudah berusaha, berjualan dengan sebaik- baiknya.

Tidak jarang nasi sisa jualan masih cukup banyak. Meski keesokan paginya sudah dibuat sarapan sekeluarga masih tetap ada sisa. Solusinya dibuat sego aking, dikumpulkan dan dijual karena tidak memiliki hewan piaraan. Hari ini ada 8,5 kg sego aking yang terkumpul.

Mbah Yusmin (65 tahun) pengepul sego aking datang dengan becak kayuhnya. Warga desa Weleri ini memang setiap hari kerjanya muteri 16 desa se kecamatan Weleri untuk membeli sego aking dari warga. Harganya Rp 3.000 per kilogram. Terkadang sehari mendapat 1-2 kuintal, dan tidak jarang hanya mendapatkan beberapa puluh kilogram saja.

“Nembe mawon budhal mbah, kok dereng angsal sego aking”_ (Baru saja berangkat mbah, kok belum dapat sego aking), tanya saya.

“Nggih mas, sak angsale”. (Ya mas sedapatnya), jawabnya polos.

“Kenapa tidak memakai bentor (becak motor) saja mbah, bisa lebih cepat   waktunya”_ tanya kami lebih lanjut sambil bersih-bersih dan menata tanaman pakan klanceng yang ada di halaman rumah.

“Mboten cucuk menawi ngangge bensin tur mboten saged kemringet, mboten sehat” (Tidak  efektif/efisien kalo harus beli BBM, tidak bisa berkeringat dan tidak sehat), jawabnya sambil menimbang sego aking.

Setelah menyerahkan uang kepada mas Yusro, mbah Yusmin pamit melanjutkan perjalanan mencari sego aking keliling kampung. Suaranya khas, mengayuh becak sambil teriak: _”sego aking, sego aking”_. Biasanya seminggu sekali mbah Yusmin mengunjungi tempat, desa atau kampung yang sama. Di balik kesahajaan, ternyata mbah Yusmin sosok yang luar biasa.

Beliau seorang peternak, memiliki itik 3.000 ekor. Lokasinya di salah satu desa di kecamatan Rowosari, hasil pemekaran kecamatan Weleri. Ternak itiknya dipasrahkan saudaranya yang disana. Setiap hari mbah Yusmin mencari sego aking sebagai salah satu campuran pakan itiknya, selain bekatul. Sego aking yang terkumpul setiap hari diantar atau diambil saudaranya, sambil membawa telur bebek hasil ternaknya hari itu. ‘Mboten cucuk’ (tidak efisien efektif) kalo memelihara itik dengan membeli pakan konsentrat buatan pabrik yang harganya selangit tanpa subsidi pemerintah.

Potret hidup mbah Yusmin sungguh menjadi suri tauladan bagi kita yg memiliki berpendidikan lebih tinggi, masih berusia lebih muda dalam menjaga kesehatan dan menjemput rejeki-Nya.

Wallahul musta’an.

Kamis wage, 4 Maret 2021.

Ketua LHKP-PWM Jateng, Alumni Magister Agribisnis Undip.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *