Antara Crombolini, Lidah Ndeso dan Generasi Milenial

Suatu petang pekan lalu, dalam perjalanan pulang dari Semarang, istri bilang agar mampir di Indomart yang memiliki tanda khusus, yaitu menjual aneka bakery dan pastry.

Kami pun mampir di salah satu Indomart yang tokonya besar dekat Kalibanteng dari arah Sam Poo Kong.

Tidak berapa lama istri keluar dari toko tanpa membawa bungkusan. ”Cromboloni kosong, habis”, kata istri sambil masuk dan duduk ke dalam mobil.

“Durung rejekine (belum rejekinya)”, kata saya sambil menyetir ke luar dari halaman toko.

Cromboloni, sebuah produk makanan yang sedang viral di Indonesia pada akhir tahun 2023. Bagi pegiat UMKM pangan atau kuliner, meng-update sebuah produk baru menjadi sebuah keniscayaan.

Apalagi jika produk itu sedang atau sangat viral di dunia media sosial komunitas pegiat dan pelaku usaha kuliner.

Tentu tidak afdol jika hanya menikmati keviralan sebuah produk secara on-line, tanpa pernah menikmati produknya secara nyata, off-line.

Artinya belum pernah mencicipi produknya dan sekedar membayangkan alias “halu” (bahasa prokem halusinasi) saja.

Sebenarnya saya pernah mencicipi cromboloni yang dibawakan istri ke rumah.

Tetapi karena tidak “nggalbo” dengan nama produk yang sedang viral itu, maka setahu saya hanya roti sejenis croissant yang renyah dan manis.

Croissant adalah roti krispy berbahan adonan tepung terigu, mentega, telur dan ragi yang dibentuk seperti bulan sabit (crescent).

Apalagi lidah saya lebih akrab dan cocok dengan “panganan ndeso” (kudapan desa) seperti pisang godog, gethuk, mendut, klepon.

Kalau toh menikmati roti lebih suka molen pisang atau martabak manis isi kacang dan coklat.

Cromboloni merupakan pastry perpaduan antara croissant dan bomboloni. Sekarang ini cromboloni lagi viral di berbagai plaform sosmed terutama TikTok.

Banyak konten kreator yang merelakan diri mengantri untuk menikmati cromboloni dan mengunggahnya di berbagai laman media sosial mereka.

Namanya juga konten kreator, profesi mutakhir bagi sebagian kalangan anak muda generasi millenial.

Jadi teringat putri saya ketika kuliah di Yogya, nyambi menjadi konten kreator untuk beberapa produk baru kafe dan resto disana.

Lumayan buat tambahan uang jajan bagi mahasiswa kos.

Bermula dari kreativitas seorang chef pastry, Scott Cioe, menciptakan dan menjual cromboloni di tokonya yang bernama Lafayette Grand Cafe & Bakery, New York Amerika tahun 2022.

Awalnya pastry itu dinamai New York Roll atau The Supreme sebelum dinamai Cromboloni.

Dari segi bahan dan pembuatan tidak berbeda dengan croissant, hanya bentuknya yang dimodifikasi menyerupai bomboloni.

Bomboloni adalah donat berbentuk bulat tanpa lubang yang didalamnya terdapat aneka isian.

Cromboloni bisa dibuat menggunakan adonan pastry instan yang dipotong sekitar 2 centimeter, lalu digulung hingga berbentuk bulat.

Setelah dipanggang dalam oven, adonan pastry bisa diisi dengan aneka selai dan berbagai pasta, seperti coklat, cheese cream dan lainnya sesuai selera.

Berbagai resep crombolonipun menjadi viral dan bisa kita akses di berbagai medsos. Beberapa toko roti dan bakery menjadikan cromboloni sebagai salah satu produk unggulannya.

Dan salah satu yang menjual cromboloni yaitu Indomart yang bertanda khusus.

Budaya Global

Di era global, setidaknya ada tiga jenis produk (barang dan jasa) yang mendunia, 3 F. Yaitu Food (makanan minuman), Fashion (pakaian) dan Fun (hiburan).

Berbagai produk makanan global sangat mudah kita jumpai di berbagai kota besar dan kecil. Berbagai jenis makanan “impor” terlihat menguasai pasar di Indonesia, diantaranya berasal dari Amerika, Italia, Jepang, Korea, China dan Thailand.

Begitu juga dengan aneka minuman berlabel Thai Tea, American Coffee, English Tea, Chinese White Tea, dan sebagainya.

Budaya pangan global menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Anak-anak dan remaja saat ini lebih akrab dengan aneka makanan semacam mie instan, sosis, nugget dan frozen food lainnya.

Budaya pangan sebuah bangsa berubah seiring berubahnya pola makan dan budaya pangan rakyatnya. Saya mengamati perubahan pola makan di lingkungan keluarga kami.

Anak-anak dan keponakan yang berusia TK dan SD lebih suka sarapan “garingan” (tanpa sayur) dengan omlete (telur dadar), nugget dan sosis atau roti bakar daripada sarapan nasi berlauk sayur mayur dan tahu tempe goreng.

Generasi millenial sekarang agaknya lebih akrab lidahnya ketika makan spagetti ketimbang bakmi Jawa. Lebih suka beli Thai-tea dan cappucino daripada Java-tea dan kopi susu.

Lebih demen makan nasi garingan lauk fried chicken dengan “saos tomato” daripada nasi lauk ikan goreng dengan lalapan dan sambal tomat.

Sebuah tantangan bagi UMKM Pangan untuk kreatif menghadirkan aneka makanan dan minuman lokal yang mampu bersaing dan merebut budaya pangan global. Think globally, act locally.

Weleri, 19 Desember 2023
Penulis: Khafid Sirotudin (Pemerhati Pangan dan Ketua LP UMKM PWM Jateng)

-https://jateng.tribunnews.com/2023/12/20/antara-crombolini-lidah-ndeso-dan-generasi-milenial?page=all

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *