Khafid Sirotudin
Pada sebuah pertemuan bersama seluruh anggota Politbiro, Joseph Stalin (Penguasa Republik Sosialis Soviet, 1878-1953) meminta asistennya agar membawakan seekor ayam. Dia pegang erat ayam itu dengan satu tangan, sementara tangan satunya mencabuti bulu ayam satu per satu sampai gundul (Jawa : pitik trondol). Ayam malang itu kesakitan, meronta dan gagal tak berdaya untuk lepas dari tangan sang penguasa.
Tatkala Joseph Stalin hendak melepas “pitik trondol” itu, dia berkata kepada seluruh anggota Politbiro : “Sekarang perhatikan apa yang akan terjadi..!!”. Begitu diletakkan di lantai, ayam lari menjauh dari Stalin. Sejenak kemudian dia mengambil segenggam gandum dan menawarkan pada si ayam. Semua yang ada di ruangan takjub, saat ayam yang tadinya ketakutan dan kesakitan justru mendekat dan memakan gandum yang diberikan Stalin. Bahkan tatkala Stalin berjalan menjauh “pitik trondol” tersebut mengejar dan mengikutinya.
Stalin menatap ke semua anggota Politbiro dan berkata : “Ayam ini mewakili rakyat kita. Begitulah seharusnya cara kita memperlakukan rakyat. Lakukan kebrutalan kepada mereka, pukuli mereka, buat mereka tidak berdaya, menderita, kesakitan, lapar dan bodoh. Lalu dengan sedikit gandum saja, dia mau mendekat, patuh dan akan selalu taat membabi buta kepada kita selamanya”.
Cerita tersebut muncul dalam sebuah artikel surat kabar Izvestia 4 Mei 1988, tulisan Kirghiz Chinghiz Aitmatov. Sebuah penuturan dari lelaki tua pada pemakaman bibi Aitmatov di desa Kirghiz yang menggambarkan bagaimana kediktatoran Joseph Stalin. Sebuah ilustrasi bagaimana Rezim Stalin menjalankan pemerintahan dan kekuasaan secara dzalim, tidak berkeadaban dan berkeadilan.
Berawal dari krisis ekonomi dan politik 1980-an, Michael Gorbachev, Presiden Uni Soviet saat itu menerapkan Perestroika atau kebijakan restrukturisasi politik dan ekonomi pada tahun 1985. Kebijakan Perestroika berusaha mengubah sistem komunisme dengan 3 prinsip utama, yaitu Glasnost (keterbukaan politik), Democratizatsiya (demokratisasi) dan Rule of Law (penegakan hukum). Kebijakan itu menimbulkan banyak pertentangan antara kelompok moderat, konservatif dan radikal tentang Sistem Komunisme di Uni Soviet yang berakhir runtuh pada Desember 1991, setelah 69 tahun berdiri.
Gorbachev dan Boris Yeltsin telah gagal melakukan perbaikan sistem pemerintahan dan sistem ekonomi sentralistik ala komunis Uni Soviet. Sebuah sistem yang menyebabkan susahnya pemerataan kemakmuran-kesejahteraan dan mengabaikan keadilan ekonomi. Sehingga memicu munculnya gerakan separatisme di negara-negara bawahan Uni Soviet, Ditambah dengan ketidakpuasan kelas menengah (civil society) dan sebagian kelompok elit terhadap penerapan sistem komunisme.
Sesungguhnya faktor utama pemicu krisis ekonomi dan politik saat itu, adanya kondisi ekonomi yang terpuruk akibat perilaku koruptif di kalangan elit Partai Komunis dan Pemerintahan Uni Soviet. Penyakit penyalahgunaan kekuasaan lagi-lagi dialami negara itu. Seakan mengingatkan dan membenarkan pernyataan Lord Acton (1833-1902) “Power tends to corrupt. Absolute power corrups absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup absolut seratus persen).
Korupsi merupakan “extra ordinary crime” yang mengusik rasa keadilan sosial ekonomi di negara manapun dan dengan sistem politik apapun. Perilaku koruptif penguasa bisa terjadi di negara dengan sistem Komunisme dan Liberalisme, Kerajaan ataupun Republik. Bisa juga terjadi di negara yang menganut Teokrasi maupun Ateisme. Untuk mengatasi hal itu, maka kekuatan moral dalam penegakan hukum (law enforcement) musti dijalankan secara beriringan dengan penegakan keadilan (justice enforcement).
Mengambil Hikmah
Kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa di Uni Soviet, bahwa mengatur orang bodoh dan miskin lebih mudah. Oleh karenanya para Penguasa Dzalim, Diktator dan Penjajah di seluruh dunia senantiasa mempertahankan kebodohan dan kemiskinan rakyat agar tetap bisa dikendalikan selama berkuasa. Pemerintah Kolonial Belanda bisa menjajah nusantara dengan mudah selama 350 tahun dengan mempertahankan kebodohan dan kemiskinan rakyatnya.
Kita patut bersyukur para tokoh agama dan pejuang kemerdekaan rela berkorban harta, jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa dan negara. Hal itu tercatat secara jelas atas keteguhan bangsa Indonesia menentang penjajahan dan menegakkan kemerdekaan. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama yang berbunyi : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Alinea Ketiga menegaskan bahwa kemerdekaan yang telah diraih merupakan rahmat dari Allah yang Maha Kuasa. Sebuah perwujudan sikap dan keyakinan segenap bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah makhluk Tuhan yang tidak hanya bersifat fisik semata. Ini menegaskan prinsip adanya keseimbangan dalam kehidupan antara material dan spiritual, rohani dan jasmani, dunia dan akhirat. Sebab Manusia (al-insan) bukanlah hewan, tanaman apalagi barang yang tidak memiliki jiwa dan akal.
Alinea keempat berbunyi : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Makna Pembukaan UUD 1945 alinea keempat setidaknya menegaskan : pertama, adanya fungsi sekaligus tujuan negara Indonesia setelah merdeka, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua, keberadaan UUD Negara Republik Indonesia untuk meneguhkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan tujuannya setelah merdeka sebagai negara. Ketiga, Indonesia berkedaulatan rakyat dengan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Sebagai bangsa dan negara Republik Indonesia, kita telah 78 tahun merdeka. Berbagai rezim pemerintahan (eksekutif) dan kedewanan (legislatif) setidaknya telah berganti dalam 3 orde : Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Beberapa bulan ke depan, Pemilihan Umum Serentak 2024 bakal digelar. Tanggal 14 Februari 2024 untuk Pemilu Legislatif (DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Adapun Pemilukada (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota) akan dilaksanakan pada 27 November 2024.
Pemilu merupakan instrumen penting dalam sistem demokrasi. Barangkali bukan cara yang terbaik untuk menentukan Wakil Rakyat dan “Penguasa” negeri ini. Akan tetapi inilah yang telah menjadi pilihan kita dalam berdemokrasi. Dengan pemilu kita dapat mengetahui secara kuantitatif siapa saja Legislatif dan Eksekutif yang terpilih. Bisa jadi keunggulan kuantitatif tidak berbanding lurus dengan keunggulan kualitatif. Namun ukuran kuantitatif inilah yang bisa dijangkau “otak manusia” secara terukur dan mudah. Sebagaimana kaidah fikih “nahnu nahkumu bidhawahir” : kita menghukumi sebatas apa yang nampak.
Maka kita mafhum manakala pemilu tak lebih dari sekedar mengumpulkan dan menghitung angka-angka sebagai penentu pemegang kekuasaan. Adanya kekurangan sangat dimengerti, tetapi jika tidak memakai pemilu, instrumen apa yang akan kita pergunakan?. Karena pemilu menyangkut menghitung angka-angka maka peran Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP); peran aktif civil society (kalangan cerdik pandai, tokoh agama dan tokoh masyarakat) sebagai Pemandu rakyat dan Pemantau Pemilu yang independen dan obyektif; serta Pemilih (rakyat) yang Berdaulat dan tidak mudah dibodohi menjadi instrumen pemilu yang sangat penting dan strategis.
Akankah cita-cita kemerdekaan sebagaimana tersebut secara jelas dan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 dapat kita wujudkan? Semua akan bermuara pada ihtiar kolektif anak bangsa untuk memilah dan memilih Wakil Rakyat dan “Penguasa Negara” yang hendak dihasilkan Pemilu. Semoga Pemilu Serentak 2024 mampu menghasilkan para Pemimpin Negeri dan para Wakil Rakyat yang berintegritas baik. Semua berpulang kepada kita : maukah rakyat diperlakukan laksana “pitik trondol” sebagaimana cerita diawal tulisan ini.
Saya akhiri tulisan ini sambil mendengarkan bait lagu “Bongkar” dari Iwan Fals :
…….
Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperbudak jabatan
Oo ya o ya o ya bongkar
…….
Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan, hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
…….
Wallahua’lam
Kendal, 17 September 2023
*) Kabid Diaspora Kader MPKSDI PP Muhammadiyah