#29-BelajarBudidayaKlanceng
Khafid Sirotudin
Bayangan kami sebelum bertemu langsung Pengurus dan anggota ILMI Makasar, usianya sepantaran kami diatas 50-an tahun. Maklum selama ini hanya bertemu di dunia maya, bukan di dunia nyata. ILMI Makasar beranggotakan 60-an orang pegiat lebah madu, hampir semua rata-rata masih berusia muda. Kebanyakan umur 30-an, hanya sebagian kecil yang 40-an tahun lebih dikit. Jarak usia relatif jauh dibanding saya yang mulai menggeluti di usia 51 tahun, dan saat ini sudah berumur 53 tahun.
Sebuah optimisme, rasa senang dan bangga menyaksikan anak-anak muda berkenan mengabdikan diri berkhidmat menjadi peternak lebah madu. Apalagi setelah tahu bahwa sebagian mereka berpendidikan Sarjana dan Sarjana Muda. Menjadi petani dan peternak di “jaman now” sebuah pilihan hidup yang membutuhkan keberanian tingkat dewa. Minimal bisa meyakinkan istri dan mertua bahwa profesi petani dan peternak lebah madu bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Tidak kalah keren dibanding menjadi pegawai korporasi atau buruh industri.
Rencana awal hari ini, Rabu 15/06/2022, kami akan mengunjungi beberapa lokasi budidaya klanceng milik anggota ILMI di kabupaten Maros dan sekitarnya yang memiliki eskalasi budidaya dengan jumlah koloni 50, 100 dan 300-an stup/kotak budidaya. Ada juga tawaran dari teman pembudidaya di Sopeng untuk berkunjung, namun membutuhkan perjalanan darat 6-8 jam PP.
Untung tak dapat ditolak. Hujan deras sejak pagi membuat kami merubah jadwal kunjungan. Zulkarnain WA kami: ‘Maaf bang, rencana kunjungan diundur siang/sore menunggu hujan reda. Nanti Ito yang jemput di hotel’. Kami jawab dengan sticker WA: “Siap Ndan 86”.
Ka’mu’, Emmu’ dan Merang
Lebah madu tanpa sengat (stingless bee) di Indonesia sebetulnya telah lama diketahui oleh sebagian besar rakyat di berbagai daerah se-Nusantara. Beragam sebutan lokal dan istilah di setiap daerah/wilayah setidaknya mengindikasikan kehadiran salah satu jenis lebah eksotis ini. Nama latinnya Trigona sp. dan konon termasuk salah satu hewan purba yang masih hidup hingga sekarang.
Sebagai anak bangsa kita wajib bersyukur karena wilayah Nusantara memiliki spesies lebah tanpa sengat terbesar di dunia. Bersaing dengan Brasil yang sama-sama memiliki hutan hujan tropis terbaik dunia. Orang Sunda menyebutnya teuweul. Orang Minang menjulukinya galo-galo. Di Sulawesi Selatan ada 3 sebutan. Suku Makasar menyebutnya ka’mu’, orang Bugis biasa menjuluki emmu’, serta orang Toraja memberi nama ‘merang’.
Sekurangnya terdapat 40-an sebutan nama lokal sesuai local genius. Masyarakat Jawa (Jateng, DIY dan Jatim) pada umumnya menyebut lebah kecil penghasil madu istimewa ini sebagai “tawon klanceng atau lanceng”. Masyarakat awam Jawa menyebut semua serangga jenis ini—menghasilkan madu atau tidak, memiliki sengat atau tanpa sengat, dengan satu sebutan sama yaitu “tawon”. Sudah barang tentu berbeda menurut entomolog (pakar serangga) yang bisa mendefinisikan secara ilmiah. Tawon tidak menghasilkan madu, sedangkan lebah menghasilkan madu. Baik yang bersengat maupun yang tidak memiliki sengat (Jawa : antup).
Kunjungan Lapangan ke Moncongloe
Kondisi iklim yang berubah (Jawa: salah mongso) akibat pemanasan global dan climate change telah merubah kenaikan rata-rata suhu bumi dan membuat bergesernya iklim di semua wilayah se-dunia. Jika jaman dahulu bulan April menjadi batas akhir berakhirnya musim penghujan berganti musim kemarau, sekarang telah berubah. Dari dunia pertanian setidaknya kita pernah mendengar istilah Musim Tanam (MT) dan ARAM (Angka Ramalan). ARAM adalah estimasi produksi satu jenis komoditas dalam MT di satu kabupaten/kota, provinsi maupun nasional. Dengan perspektif yang sama, maka ARAM produksi madu di setiap kawasan/daerah/wilayah seharusnya bisa dilakukan. Tetapi sayangnya, produktivitas madu belum mendapatkan perhatian yang cukup dari stakeholders terkait. Hingga saat ini kami belum menemukan data produktivitas madu secara nasional, baik dari BPS, Kementrian, Dinas terkait.
Selepas waktu Ashar, hujan sudah mereda. Kami dijemput Ito, anggota ILMI, Sarjana Sosial asal Kendari yang sudah 10-an tahun menetap di Makasar. Salah seorang aktivis muda perlebahan, ‘pemuda hijrah’ yang berkhidmat dalam perniagaan madu Trigona sp. dan madu Apis dorsata. Dua jenis produk madu yang umum diperdagangkan di Sulawesi Selatan.
Kami menuju Moncongloe di kabupaten Maros, daerah yang dulu menjadi sentra budidaya ternak sapi. Perjalanan membutuhkan 45-an menit dari kota Makasar. Dari jalan kabupaten kami musti memasuki jalan desa yang belum beraspal apalagi berbeton. Di kanan kiri jalan Moncongloe yang kami lalui, terlihat banyak pepohonan dan aneka tanaman pakan lebah.
Kabupaten Maros, salah satu daerah pertanian penghasil pangan utama provinsi Sulsel. Maros juga memiliki SDA yang baik, salah satunya Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung. Alhamdulillah kami sudah 4 kali berkunjung ke TN Bantimurung, antara tahun 2004-2012. Tempat eksotik bagi 240-an jenis/spesies kupu-kupu tercantik di dunia. Sebagaimana kita mengetahui bahwa lebah sebagai penyerbuk handal beragam tanaman hortikultura (buah dan sayuran). Selain lebah sebagai hewan penyerbuk (pollinator) masih ada serangga lain yang berjasa membantu penyerbukan berbagai tanaman, diantaranya: kupu-kupu, kumbang, tawon, semut dan belalang (spesies tertentu).
Sudahkah kita minum sesendok madu murni hari ini?
No-Tree, No-Bee, No-Honey, No-Healthy, No-Money. Wallahu ‘alam.
Weleri, 18 Juni 2022.
*) Pemerhati Pangan, Founder HIBTAKI, Pembudidaya Klanceng